Selasa, 12 April 2016

ILMU JARH WA AL TA'DIL

PEMBAHASAN
A. Pengertian al jarh wa at ta’dil
Kalimat ‘al-Jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’. Al-jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar, dari kata   جرج – يجرح, yang berarti: seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.[1]
Secara terminology al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yanga mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atu bertolak riwayatnya. Adapun at-tajrih menyifati seorang perawi dengan sifat sifat yang membawa konskuensi penilain lemah ats riwayatnya atau tidak diterima. Kemudian pengertian al-adl secara etimologi berarti ‘sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus’, merupakan lawan dari ‘lacur’. Adapun secara terminologi al-adl adalah orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraan. Dengan demikian, berarti ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka. Ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadist yang membahas cacat atau adilnya seorang yang meriwayatkan hadist yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadistnya.
Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, maka periwayatannya diterima selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi. Ilmu jarh wa ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang kritik adanya aib (cacat) / memberikan pujian pujian adil kepda seorang rawi. Dr. ‘Ajjaj al-Khathib mendefinisikannya sebagai berikut :
هُوَ الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِي أَحْوَالِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ قَبُوْلِ رِوَايَتِهِمْ أَوْ رَدِّهَا
“Adalah suatu ilmu yang membahas perihal para rawi dari segi-segi diterima atau ditolak periwayatannya”

B. Objek kajian Al Jarh Wa At Ta’dil
1.      Pen-tajrih-an Rawi
Tajrih rawi berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
§  Bid’ah, yakni mempunyai i’tikad berlawanan dengan dasar syariat. Adalakanya tergolong orang-orang yang dikafirkan dan adapula yang tergolong orang-orang yang difasikkan. Mereka yang tergolong orang-orang yang kafir, ialah golongan Rafidlah, yang mempercayai bahwa Tuhan menyusup (bersatu) pada Sayyidina ‘Ali, dan pada imam-imam lain, dan mempercayai bahwa ‘Ali akan kembali lagi kedunia sebelum hari kiamat. Sedangkan yang fasik, ialah golongan yang mempunyai ittikad berlawanan dengan dasar syari’at.
§  Mukhalafah, yakni perlawanan sifat ‘adil dan dhabit seorang rawi yang lain yang lebih kuat yang tidak dapat dijama’kan atau dikompromikan.
§  Ghalath, yakni kesalahan, seperti lemah hafalan atau salah sangka, baik sedikit maupun banyak kesalahan yang dilakukan. Seorang rawi yang di sifati banyak kesalahannya, hendaklah diadakan peninjauan mengenai hadist- hadist yang telah di riwyatkannya. Kalau periwayatannya tersebut terdapat pada periwayatan orang lain tidak di sifati dengan ghalath, maka hadist yang diriwayatkan oleh orang banyak salah tersebut dapat di pakai, tetapi bukan menurut sanadnya.
§  Jahalah al-Hal, yakni tidak diketahui identitasnya. Merupakan pantangan untuk di terima hadistnya, selama belum jelas identitasnya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian orang lain mengingakarinya, dalam hal ini di dahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih tahu daripada orang yang mengingkarinya.

2.      Metode untuk Mengetahui Keadilan dan Kecacatan Rawi dan Masalah-masalahnya
Dalam uraian yang baru lalu telah dikemukakan bahwa : menta’dilkan ialah memuji rawi dengan sifat –sifat yang membawa ke-‘adalah-annya, yakni sifat-sifat yang dijadikan dasar penerimaan riwayat. Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan, yaitu :
1.      Dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa dia dikenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya.
2.      Dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh :
a.       Seorang perawi yang adil, jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadist). Oleh karena itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian menurut pendapat para fuqaha’ yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyah seorang rawi.
b.      Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan dan baik orang yang merdeka maupun budak. Selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan :
a.       Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b.      Berdasarkan pentarjihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut  para fuqaha sekurang-sekurangnya harus ditarjihkan oleh orang laki-laki yang adil.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan menta’dilkan dan menjarhkan seorang rawi, diantaranya seorang rawi, diantaranya apabila penilaian itu secara mubham (Mubham adalah tak disebutkan sebab-sebabnya) dan ada kalanya mufasar (Mufasar adalah disebutkan sebab-sebabnya). Tentang mubham ini diperselisihkan oleh para ulama, dalam beberapa pendapat, yaitu:
a.       Menta’dilkan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya dapat diterima, karena sebab itu banyak sekali, sehingga kalau disebutkan semuanya tentu akan menyibukkan saja. Adapun mentarjihkan tidak diterima, kalau tidak menyibukkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja. Dan karena orang-orang itu berlainan dengan mengemukakan sebab jarh, hingga tidak mustahil seorang mentarjihkan menurut keyakinannya, tetapi tidak dalam kenyataan.
b.      Untuk ta’dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak perlu. Karena sebab-sebab menta’dilkan itu bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedangkan mentarjihkan tidak bisa dibuat-buat.
c.       Untuk kedua-duanya, harus disebutkan sebab-sebabnya.
d.      Untuk kedua-keduanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab si jarh dan mu’addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Di antara sebab munculnya kriteria mubham dan mufassar karena terjadi perbedaan pemahaman tentang penilaian terhadap rawi.
Masalah berikutnya adalah perselisihan dalam menentukannya mengenai jumlah orang yang dipandang cukup untuk menta’dilkan dan mentarjihkan rawi, seperti berikut ini :
a.       Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikian pendapat kebanyakan fuqaha’ Madina.
b.      Cukup seorang saja, dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab, bilangan tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadist, maka tidak pula disyaratkan dalam menta’dilkan dan mentarjihkan rawi. Berlainan dalam soal syahadah.
c.       Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.
Adapun kalau ke’adalahannya (keadilannya) itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimashurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka tidak diperlukan orang yang menta’dilkan (mu’addil). Seperti Malik, As-Syafi’iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu ‘I-Mubarak, Syu’bah, Is-haq dan lain-lainnya.

C. Lafadz-Lafadz Muratib dan Al Jarh Wa At Ta’dil
Ibnu Hajar menyusun ke dalam 6 tingkatan, yaitu:
Berbentuk af’alut tafdhil atau ungkapan lain yang setara maknanya dengan af’alut tafdhil.
Contoh :
أوثق الناس                         ( orang yang paling tsiqah )
أثبت الناس حفظا وعدالة                   ( orang yang paling mantap hafalan dan keadilanya )
إليه المنتهي فى الثبت             ( orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya )

Berbentuk pengulangan lafadz yang sama atau dalam maknanya saja.
Contoh:
ثبت ثبت         ( orang yang teguh dalam pendirianya )
ثقة ثقة           ( orang yang tsiqah lagi tsiqah )
ثبة ثقة           ( orang yang teguh lagi tsiqah )
ضابط متقن     ( orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya )

Menggunakan Lafadz yang mengandung arti kuat ingatan.
Contoh:
ثبت              ( orang yang teguh hati dan lidahnya )
متقن              ( orang yang meyakinkan ilmunya )
ثقة                ( orang yang tsiqoh )
حافظ             ( orang yang kuat hafalanya )

Menggunakan Lafadz yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil
Contoh:
صدوق           ( orang yang sangat jujur )
مأمون            ( orang yang dapat memegang amanat )
لابأس به         ( orang yang tidak cacat )

Menggunakan lafadz yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada kedhabitn
Contoh:
محله الصدق              ( orang yang berstatus jujur )
جيد الحديث               ( orang yang baik haditsnya )
حسن الحديث             ( orang yang bagus haditsnya )

Menggunakan lafadz yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat diatas yang diikuti kafadz “inssaAllah”, atau ditashghitkan, atau lafadz tersebut dikaitkan dengan pengharapan .
Contoh:
صدوق إن شاءالله                            ( orang yang jujur, jika Allah menghendaki )
فلان أرجوا بأن لابأس به                   ( orang yang diharapkan tsiqah )
فلان صويلح                                 ( orang yang shalih )
فلان مقبول حديثه                           ( orang yang diterima haditsnya )

D. Syarat-syarat bagi orang yang menta’dilkan dan mentarjihkan
Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainny, melainkan harus jelas dahulu sebab-sebab penilaiannya. Terkadang orang menilai orang lain cacat padahal dia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, tidak boleh menerima langsung suatu perkataan sebelum ada yang menyetujuinya.
Bagi orang-orang yang menta’dilkan dan mentarjihkan diperlukan syarat-syarat berikut, yaitu :
a.       Berilmu pengetahuan
b.      Takwa
c.       Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat).
d.      Jujur
e.       Menjauhi fanatik golongan
f.       Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan mentarjihkan.







BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas mengenai jarh wat ta’dil ini dapat diambil kesimpulan bahwa, mencela atas perawi karena cacat itu diperbolehkan, dengan adanya sebab atau sesuatu yang maslahat. Seperti yang telah dikatakan oleh Al-Ghazali dan Imam Nawawi dalam kitabnya yaitu Ihya ul ulumuddin dan kitab Rioyadhatussolihin, tapi dengan syarat, bahwa orang-orang yang bisa mencela dari perawi hadis disini harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam, khususnya bagi pelajaran ilmu hadis.

Dan selama pencelaan tersebut tidak diikuti unsur-unsur kepentingan pribadi dalam artian tidak ada dendam individu diantara pencela perawi hadis terhadap perawi hadis. Karena pencelaan ini diperbolehkan dengan tujuan demi kepentingan agama dan bukan untuk kepentingan individu atau kelompok.

0 komentar:

Posting Komentar