Selasa, 12 April 2016

NUZULUL QUR'AN

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

                    Dalam mempelajari ilmu Al-Quran, ada beberapa hal yang penting untuk dipelajari dan salah satunya adalah bagaimana Al-Quran diturunkan dan bagaimana Al-Quran itu dibukukan pada masa khulafaur Rasyidin. Karena dengan mengetahui bagaimana proses pengumpulan Al-Qur’an kita dapat mengerti bagaimana usaha-usaha para sahabat untuk tetap memelihara Al-Quran.
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslim dan menjadi sumber ajaran islam yang pertama dan utama yang harus diimani dan diaplikasikan dalam kehidupan agar memperoleh kebaikan didunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah berlebihan jika selama ini kaum muslim tidak hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya, tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga autentisitasnya. Upaya itu telah dilaksanakan sejak nabi Muhammad SAW masih berada di makah dan belum berhijrah ke madinah hingga saat ini. Dengan kata lain upaya tersebut telah mereka laksanakan sejak Al-Qur’an diturunkan hingga saat ini.
Jika hakikat Al-Qur’an sudah terjawab maka akan muncul pertanyaan lain, bagaimana Al-Qur’an diturunkan dan bagaimana pula pendapat ulama menyikapi hal tersebut. Munculnya pertanyaan-pertanyaan serupa itu wajar saja karena ada dua macam ayat yang membicarakan tentang turunnya Al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut terdapat dalam surat Al-Qadar ayat 1, dan surat Ad-Dhukan ayat 3. Masing-maisng ayat tersebut berbunyi:
Artinya:
“Sungguh talah kami turunkan Al-Qur’an di malam Lailatul Qodar”
Ayat yang pertama sering diperingati oleh umat islam pada tanggal 17 Ramadhan. Ayat kedua diyakini oleh mayoritas umat islam adalah malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. Jika demikian halnya, kelihatannya ayat yang kedua diatas adalah ayat penengah, artinya bahwa kedua ayat tersebut tidak ada permasalahan. Yang jelas bahwa Al-Qur’an duturunkan pada bulan yang penuh berkah, yaitu bulan Ramadhan. Sedangkan, proses turunnya Al-Qur’an disebut Nuzulul Qur’an.


B.     Rumusan Masalah.

1.      Apakah pengertian Nuzulul Qur’an itu?
2.      Apa bukti hiktoris Al-Quran  di turunkan  berangsur-angsur?
3.      Bagaimana penulisan Al-Quran pada masa nabi Muhammad Saw dan kholafatur          roysidin?
4.     Bagaimana pemeliharaan Al-Quran setelah Kholafatur Roysidin?
5.      Bagaimana penyempurnaan Mushaf/ Rosful Usmani?



C.  TUJUAN MASALAH

1.Untuk mengetahui pengetian Nuzulul Quran
2.Untuk mengetahui bukti-bukti hiktoris Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur
3.Untuk mengetahui penulisan Al-Quran pada masa Nabi
4.Untuk mengetahui pemeliharaan Al-Quran setelah Kholafatur Roysidin
5.Untuk mengetahui penyempurnaan Mushaf/Rosful Usmani















                                                BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nuzulul Quran
Nuzulul Qur'an artinya adalah turunnya Al-Qur'an. Turunnya Al-Qur'an untuk yang petama kalinya biasa diperingati oleh umat Islam yang dikemas dalam suatu acara ritual yang disebut dengan Nuzulul Qur'an. Turunnya Al-Qur'an untuk yang pertama kalinya merupakan tonggak sejarah munculnya satu syari'at baru dari agama tauhid yaitu agama Islam. Sebagai penyempurna dari agama-agama tauhid sebelumnya.
Ayat-ayat Al-Qur’an tidaklah diturunkan sekaligus secara keseluruhan, tetapi secara berangsur-angsur sesuai dengan ketentuan yang ada. Itulah sebabnya, ayat-ayat Al-Qu’an atau surat-suratnya yang diturunkan tidak sama jumlah dan panjang pendeknya, terkadang diturunkan sekaligus secara penuh dan terkadang sebagianya saja.

            Menurut Alim Ulama’ Al-Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui tiga tahapan:
1.      Diturunkan ke Lauhilmahfudzh.
2.      Ke Bait Al-‘Izzah di langit dunia.
3.      Kemudian baru diturunkan kepada nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur sesuai dengan keparluan yang ada dan kasus-kasus yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum muslim.
Menurut pendapat yang terkuat dan riwayat yang sahih, firman Allah yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah firman-Nya disurat Al-Alaq:


“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhan mu lah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum pernah ia ketahui.”
Penurunan surat pertama ini merupakan peristiwa yang  bersejarah yang terjadi pada malam Senin, tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari usia Nabi Muhammad SAW atau 13 tahun sebelum beliau berhijrah ke Madinah, bertetapan dengan bulan Juli tahun 610 Masehi. Malam pertama kali Alquran diturunkan ini disebut oleh Alquran sendiri dengan Lailat al-Qadr ( Malam Kemuliaan) dan Lailat Mubarokah (Malam yang Diberkahi). Masing-masing dari kedua nama-nama tersebut terdapat surat Al-Qodar:1 (tulis)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Alquran) pada malam kemuliaan.”
dan surat Al-Dukhan:3-4: (tulis ayat)

“Sesungguhnya Kami menurunkan (Alquran) pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.”
Setelah surat Al-Alaq turunlah surat Al-Mudatsir, tepatnya ketika Nabi Muhammad SAW sudah berada dirumah bersama istri beliau Khadijah, sehabis pulang dari gua Hira. Setelah itu ayat-ayat Alquran terputus turun untuk beberapa waktu lamanya. Masa terputusnya ayat-ayat Alquran ini turun disebut fatrat al wahyi yakni masa terputusnya wahyu.
Berapa lamanya masa fatraul wahyi tersebut, terdapat perbedaan pendapat. Menurut Ibn Ishaq masa fatrat al wahyi ini setidak-tidaknya 2,5 tahun, bahkan kemungkinan besar salama 3 tahun. Timbulnya kesimpang siuran pendapat tentang masa fatrat al wahyi dapat dimengerti, sebab peristiwa tersebut terjadi pada permulaan islam yang waktu itu jumlah kaum muslim masih sangat terbatas. Disamping itu, mereka yang sudah berjumlah sedikit tersebut masih harus mengalami sebagai macam pemberitaan dari pihak kaum musyrik quraisy, sehingga tidak ada kesempatan untuk membuat catatan-catatan turunnya ayat-ayat Alquran secara kronologis dan satu per satu secara berurutan.
Menurut riwayat yang terkuat, ayat Alquran yang terakhir sekali diturunkan adalah ayat ketiga dari surat Al-Maidah:5 (tulis ayat)

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agama mu, dan telah Aku cukupkan nikmat ku kepada mu, dan Aku rela islam itu adalah agama untuk mu.”
            Menurut riwayat diatas, ayat terakhir tersebut diturunkan ketika Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat sedang wukuf di Arofah dalam rangka melaksanakan ibadah haji terakhir ( aji Wada) pada hari Jumat, tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke-10 Hijriyah atau tahun ke 63 dari usia beliau. 81 malam setelah itu Nabi pun wafat.

               

 Pengertian Al-Qu’an
Secara etimologi (bahasa) Al-Qur’an berarti bacaan karena makna tersebut diambil dari kata qaraah, yaitu bentuk masdar dari kata qara. Sedangkan secara terminology Al-Qur’an sudah banyak diberikan pengertian oleh mufassir.
      Ali Ash-Shobuni menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang mu’jiz, diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril yang tertulis dalam mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, menjadi ibadah bagi yang membacanya, diawali dari surah Al-Fatihah dan di akhiri dengan surah An-Nas.

.B. Bukti-bukti Al-Quran  Di turunkan secara Berangsur-angsur
      Dali dan Bukti Al-Qur’an Diturunkan Secara Berangsur
Al-Qur’an itu sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui tiga tahap. Pertama, penyampaian Al-Qur’an dari Allah SAW kepada Lawh Al-Mahfuzh. Maksudnya, sebelum Al-Qur’an disampaikan kepada Rasulullah SAW sebagai utusan Allah SWT terhadap manusia, ia terlebih dahulu disampaikan kepada Lawh Al-Mahfuzh, yaitu suatu lembaran yang terpelihara di mana Al-Qur’an pertama kalinya ditulis pada lembaran tersebut. Allah SWT menjelaskan, “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuz.“(QS. Al-Buruuj:21-22)
Tidak ada manusia yang tahu bagaimana cara penyampaian Al-Qur’an dari Allah SWT ke Lawh Al-Mahfuzh. Dan manusia tidak wajib mengetahuinya, tetapi wajib mempercayainya karena yang dikatakan Allah SWT.
Tahap kedua adalah turunnya ke langit pertama dengan sekaligus. Di langit pertama itu, ia disimpan pada Bayt Al-‘Izzah. Penurunan tahap kedua ini bertepatan dengan malam Qadar, seperti dalam Surat Al-Qadr (97) ayat 1, Ad-Dukhan (44) ayat 3, dan Al-Baqarah ayat 185. Ibnu Abbas mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Az-Zarqani: “Al-Qur’an diturunkan, secara sekaligus, ke langit dunia pada malam Qadr. Setelah itu, ia diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 20 tahun.”
Para Mufassirin mengkaji hikmah penurunan Al-Qur’an ke langit pertama. Fakhruddin Ar-Razi, misalnya mengatakan bahwa hikmah diturunkan Al-Qur’an ke langit dunia adalah untuk kemaslahatan, yaitu agar ia tidak jauh, baik dari Rasulullah SAW maupun dari malaikat, terutama malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Pendapat Ar-Razi ini dikomentari oleh Al-Hijazi. Dia mengatakan hal ini merupakan rahasia Allah SWT. Masalah tersebut lebih tinggi dari itu semua, di mata manusia sulit mengetahuinya.
            Tahap ketiga adalah turunnya Al-Qur’an dari Bayt Al-‘Izzah secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, atau 23 tahun. Jibril menyampaikan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW, sehingga setiap kali wahyu ini disampaikan beliau langsung menghafalnya. Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah ayat 97 menyebutkan hal tersebut, yaitu: “Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”(QS. Al-Baqarah: 97)
            Klasifikasi tahap penurunan Al-Qur’an di atas, didasarkan penyampaian Al-Qur’an dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Apabila klasifikasi tersebut didasarkan atas periode penyampaian dakwah Islam dan penanaman serta pertumbuhan ajaran Islam, maka penurunan Al-Qur’an dapat diklasifikasikan pula kepada periode Mekkah dan Madinah. Periode Mekkah lebih kurang 13 tahun dan periode Madinah kurang lebih 10 tahun. Dalam kajian Ulumul Al-Qur’an, hal ini disebut dengan ilmu Al-Makkiyah Wa Al-Madaniyah. Jumlah surat yang diturunkan pada periode Mekkah lebih banyak dari jumlah surat yang diturunkan pada periode Madinah. Surat yang diturunkan pada periode Mekkah adalah berjumlah 86 surat, sedangkan periode Madinah berjumlah 28 surat. Perbedaan antara kedua periode ini ditandai dengan perjalanan dakwah Islam oleh Rasulullah SAW, yaitu yang terdiri dari sebelum hijrah yang disebut periode Mekkah, dan setelah hijrah yang disebut periode Madinah.
            Seperti yang telah digambarkan di atas, bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak dengan sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur. Hal ini mendapat ejekan dan kritik dari kaum kafir. Mereka mempertanyakan kenapa Al-Qur’an tidak diturunkan dengan sekaligus. Kitab-kitab sebelum Al-Qur’an diturunkan dengan sekaligus. Maka Al-Qur’an menjawab kritikan dan protes kaum kafir itu. Allah menjawab dengan beberapa berfirman-Nya: “Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).”(QS.Al-Furqan:32). “Dan Al Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.”(QS.Al-Isra’:106)
C. Penulisan Al-Quran Pada Masa NABI  Dan KHULAFAUR ROYSIDIN
            Kodifikasi atau pengumpulan Al Qur’an telah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunnya Al Qur’an. Sebagaimana diketahui, Al Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur. Setiap kali menerima wahyu, Nabi muhammad SAW membacakannya dihadapan para sahabat karena ia memang di perintahkan untuk mengajarkan Al Qur’an kepada mereka.
Di samping menyuruh sahabat menghafalkan ayat-ayat yang di ajarkannya, Nabi SAW juga memerintahkan sahabat yang pandai menulis untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang. Para sahabat pun sangat bersungguh-sungguh dalam menghafalkan atau mempelajari Al Qur’an. Sahabat yang pandai menulis juga sangat berhati-hati menuliskan ayat-ayat. Hal ini di dorong oleh keyakinan mereka bahwa Al Qur’an adalah firman Allah SWT yang harus dijadikan pedoman hidup sehingga perlu dijaga dengan baik.
Setelah ayat-ayat yang diturunkan cukup satu surah, Nabi SAW memberi nama surah tersebut untuk membedakannya dari surah yang lain. Nabi SAW juga memberi petunjuk tenteng urutan penempatan surah di dalam Al Qur’an. Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya di dalam susunan Al Qur’an juga dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi SAW. Cara pengumpulan Al Qur’an yang dilakukan di masa Nabi SAW tersebut berlangsung sampai Al Qur’an sempurna dilakukan dalam masa kurang lebih 23 tahun.[1][4]
Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu, antara lain :
1.                   Abu Bakar as-Shidiq,
2.                   Umar bin Khattab,
3.                   Usman bin Affan,
4.                   Ali bin Abi Talib,
5.                   Amir bin Fuhairah,
6.                   Zaid bin Sabit,
7.                   Ubay bin Ka’b,
8.                   Mu’awiyah bin Abu Sufyan,
9.                   Zubair bin Awwam,
10.               Khalid bin Walid, dan
11.               Amr bin As
Tulisan ayat-ayat Al Qur’an yang di tulis oleh mereka di simpan di rumah Rasulullah SAW. Mereka pun masing-masing menulis untuk di simpan sendiri. Walaupun demikian, tulisan-tulisan itu belum di kumpulkan dalam satu  mushaf (sebuah buku yang terjilid seperti yang di jumpai sekarang), melainkan masih berserakan.[2][5]
          Setelah Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar dipilih menjadi khalifah, tulisan-   tulisan Al Quran yang berserakan pada pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang binatang, dan batu-batu tetap   disimpan di rumah Rasulullah SAW sampai terjadinya peranh Yamamah yang merenggut korban   kurang lebih tujuh puluh sahabat penghafal Al Qur’an (hufaz). Karena banyak sahabat penghafal Al Qur’an yang gugur sebagai syuhada, timbul kekhawatiran di kalangan sahabat akan terjadinya perang lagi dan punahnya sahabat-sahabat pengahafal Al Qur’an yang akhirnya akan menyebabkan hilangnya Al Qur’an. Umar bin Khattab lalu menyarankan kepada Khalifah Abu Bakar agar menghimpun surah-surah dan ayat-ayat yang masih berserakan itu ke dalam satu mushaf.

D.PEMELIHARAAN AL-QURAN SETELAH KHULAFAUR ROYSIDIN
            Walaupun Rosulullah SAW secara pribadi tidak pernah menulis Al Qur’an karena Nabi SAW tidak pandai membaca dan menulis, tetapi ia sangat kuat mendorong sahabat-sahabatnya untuk belajar baca-tulis. Setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu, para penulis itu pun segerta dipanggil untuk menulis dan mencatatnya disamping sahabat-sahabat yang menghafalnya.
Sebelum Rasulullah SAW wafat, Al Qur’an secara keseluruhan telah selesai penulisannya dengan urutan surah-surah dan ayat-ayat berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW sendiri. Penulisannya di masa itu masih menggunakan alat-alat yang sangat sederhana, seperti pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu dan kepingan-kepingan tulang, sehingga sulit untuk dihimpun dalam satu kumpulan.
Masa Khulafaur Rasyidin diadakan penulisan ulang Al Qur’an dengan memakai lembaran-lembaran kertas atau suhuf. Lembaran-lembaran atau suhuf yang bertuliskan ayat-ayat Al Qur’an itu kemudian diikat dengan benang sehingga membentuk satu mushaf (kumpulan lembaran).
Akan tetapi setelah semakin banyak orang-orang non-Arab memeluk Islam, timbul kesulitan besar dalam membaca tulisan Al Qur’an. Kalaupun ada yang bisa membacanya, maka pembacaannya banyak mengandung kesalahan dan kekeliruan akibat tidak adanya tanda-tanda baca yang memadai. Apabila keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan timbul kekacauan di kalangan umat Islam.
Sebelum ditemukan mesin cetak, Al Qur’an disalin dan diperbanyak dari mushaf Usmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke-16, ketika Eropa menemukan mesin cetak dapat digerakkan (dipisah-pisahkan). Al Qur’an pertama kali dicetak di Hamburg (Jerman) pada tahun 1694.

Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini mempermudah umat Islam memperbanyak mushaf Al Qur’an. Mushaf pertama yang dicetak oleh kalangan imam sendiri ialah mushaf edisi Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Petersburg, Rusia.
Kemudian sejak tahun 1976 Al Qur’an dicetak dalam berbagai ukuran dan jumlah oleh percetakan yang dikelola oleh pengikut Sa’id Nursi di Berlin (Jerman). Sekarang kita dapat menjumpai berbagai bentuk dan ukuran Al Qur’an dari tulisan yang bentuknya sederhana sampai tulisan yang indah.  Dengan demikian, Al Qur’an terjaga dari segala bentuk kekeliruan dan kesalahan, baik disengaja ataupun tidak disengaja.

E.PENYEMPURNAAN MUSHAF/ ROSFUL USMANI
            Rasmul qur’an merupakan salah satu bagian disiplin ilmu alqur’an.  yang mana di dalamnya mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan nama Rasm Utsmani.
Penulisan Al-qur’an pada masa Nabi SAW dilakukan oleh para sahabat-sahabatnya. Nabi juga membentuk tim khusus untuk sekretaris (juru tulis) Al-qur’an guna mencatat setiap kali turun wahyu. Diantara mereka ialah; zaid binTsabit, Ubai bin Ka’ab dan Tsabit bin Qais.
Tulisan Qur’an Utsmani adalah tulisan yang dinisbatkan kepada sayyidina Utsman ra. (Khalifah ke III). Istilah ini muncul setelah rampungnya penyalinan al-Quran yang dilakukan oleh team yang dibentuk oleh Utsman  pada tahun 25H. oleh para Ulama cara penulisan ini biasanya di istilahkan dengan “Rasmul ‘Utsmani’. Yang kemudian dinisbatkan kepada Amirul Mukminin Utsman ra.
      1.      Pegertian Rasm Utsmani
            Rasm Utsmani adalah rasm (bentuk ragam tulis) Yang telah diakui dan diwarisi oleh umat islam sejak masa Utsman. Dan pemeliharaan pemeliharaan rasm Utsmani merupakan jaminan kuat bagi penjagaan Al-Qur’an dari prubahan dan pergantian huruf-hurufnya.
            Rasmul Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasmul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari, Zaid bin Tsabit, Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
         1.      Al–Hadzf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’(يَََآَ يها النا س ).
         2.      Al – Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hokum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
        3.      Al – Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelumnya, contoh (ائذن ).
        4.      Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
        5.      Washal dan fashl(penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
        6.      Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayt ini boleh dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).[1]

       2.      Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman
            Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk irak, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin Al-yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaanya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Utsman juga memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itupun akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qira’at kepada anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh sedang diantara mereka terdapat perbedaan Qira’at. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran pertamayang ada pada abu bakar dan menyatukan umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan yang tetap dengan satu huruf.
            Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Sabit al-Ansari, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin hisyam, ketiga orang terakhir ini adalah suku Quraisy, lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agarapa yang  diperselisihkan Ziad dengan ketiga orang Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Al-Qur’an turun dengan logat mereka.
Dari Anas: “bahwa Huzaifah  bin Al-Yaman datang kepada Utsman dan pernah ikut berperang melawan penduduk syam. Huzaifah amat terkejut oleh perbedaan mereka dalam bacaaan. Lalu ia berkata kepada Utsman: “selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlbatdalam perselisihan (dalam masalah kitab) sebagaimana perselisihan orang-orang yahudi dan nasrani. Utsman pu berkata kepada ketiga orang Quraisy (Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin hisyam) itu: “Bila kamu berselisih pendapat denga Zaid bin Sabit tentang sesuatu dari Qur’an. Maka tulislah dengan logat Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy”. Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lemabaran-lembaran asli itu kepada Hafsah. Selanjutnya Utsman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Al-Qur’an dibakar.
Keterangan ini menunjukan bahwa apa yang dilakukan Utsman itu telah disepakati oleh para sahabat. Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Al-qur’an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu Qira’at. Dan Utsman  telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula kesetiap wilayah masing-masing satu mushaf, dan ditahannya satu mushaf untuk dimedinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian dikenl dengan nama “Mushaf Imam”.
Penamaan mushaf imam itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahulu dimana ia mengatakan : “Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Al-Qur’an pedoman). Kemudian ia memerintahkan membakar semua bentuk lebaran atau mushaf yang selain itu. Umat pun menerima perintah itu dengan patuh, sedangkan qira’at degan enam huruf lainnya ditinggalkan . keputusan ini tidak salah sebab Qira’at dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawattir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukan bahwa Qira’at dengan tujuh huruf itu termasuk dalam kategori keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagai dari ketujuh huruf tersebut secara mutawattir.[2]

      3.      Ar-Rasmul Utsmani
            Setelah kita membicarakan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman. Zaid bin Sabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu metode Khusus dalam penulisan Al-Qur’an yang telah disetujui oleh Utsman. Para ulama menamakan metode tersebut dengan ar-rasmul ‘Ustmani lil mushaf, yaitu dengan dinisbahkan kepada utsman. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya.
                  1.      Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm usmani buat Al-Qur’an ini bersifat taufiqi yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an, dan harus sungguh-sungguh disucikan. Mereka menisbahkan taufiqi dalam penulisan Al-Qur’an ini kepada nabi. Penambahan ini sama sekali tidak bersumber dari nabi Rasulullah Saw, yang membuktikan bahwarasm itu taufiqi. Tetapi sebenarnya para penulislah yang mempergunakan istilah dan cara tersebut pada masa Utsman atas izinnya, dan bahkan Utsman telah memberikan pedoman kepada mereka.
                  2.      Banyak ulama berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukan taufiqi dari nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Utsman dan diterima umat dngan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar.
                  3.      Segolongan orang berpendapat bahwa rasm Utsmani itu hanyalah sebuah istilah, tatacara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi bila orang telah mempergunakan satu rasm tertentu untuk imla’ dan rasm itu tersiar luas diantara mereka.
Abu bakar al-Balqani menyebutkan dalam kitabnya al-intisar “tidak ada yang diwajibkan oleh Allah mengenai (cara atau bentuk) penulisan mushaf. Karena itu para penulis Al-Qur’an dan mushaf tidak diharuskan menggunakan rasm tertentu yang diwajibkan kepada mereka sehingga tidak boleh cara lain, hal ini mengingat kewajibansemacam ini hanya dapat diketahui melalui pendengaran (dalil sam’iy) dan taufiqi[3]

      4.      Perbaikan Rasm Utsmani
            Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkanpada watak pembawaan orang-orang arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harkat dan pemberian titik. Ketika bahasa arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran (dengan bahasa non arab), maka para penguasa merasa pentingnnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik dan lain-lain yangdapat membantu pembacaan yang benar. Para ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang dicurahkan untuk hal itu.banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal itu adalah  Abul  Aswad ad-Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa arab, atas permintaan Ali bin Abi Thalib.
            Perbaikan rasm mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik: fathah berupa satu titik diatas awal huruf, dammah berupa satu titik diatas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuuan harkat yang berasal dari huruf, dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalil. Perubahan itu ialah fathah adalah dengan tanda sempang di atas huruf, kasrah berupa tanda sempang dibawah huruf, dammah dengan wawu kecil diatas huruf dan tanwin dengan tamabahan tanda serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada “nun” dan “tanwin” sebelum huruf “ba” diberi tanda iqlab berwarna merah. Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa-apa ketika idgham dan ikhfa. Setiap huruf yang dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di idghamkan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf yang sesudahnya diberi tanda syaddah, kecuali huruf “tha” sebelum “ta” makan suku tetap dituliskan.
            Kemudian pada abad ketiga hijriah terjadi perbaikan dan penyempurnaan rasm mushaf. Dan orangpun  berlomb-lomba memilih bentuk tulisan yang baik dan menemukan tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan untuk huruf yang disyaddah sebuah tanda seperti busur. Sedang untuk alif wasal diberi lekuk diatasnya, dibawahnya atau ditengahnya sesuai dengan harkat sebelumnya : fathah, kasrah, atau dammah.
            Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penembahan dalam Al-Qur’an, berdasarkan ucapan ibnu mas’ud: “Bersihkanlah Al-Qur’an dan jangan dicampuradukan dengan apapun. Kemudian akhirnya hal itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran. Diriwayatkan oleh ibnu abu Daud dari al-Hasan dan ibnu sirin bahwa keduanya mengatakan : “Tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf”. Dan diriwayatkan pula oleh Rabi’ah bin Abi Abdurrahman mengatakan : “Tidak mengapa memberi syakal pada mushaf “. An-Nawawi mengatakan: “pemberian titik dan penyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat menjaga mushaf dari kesalahan dan penyimpangan.
            Perhatian untuk menyempurnakan rasm mushaf kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan arab (al-khattul ‘arabiy)[4]
         
 Jadi Kesimpulanya:
Rasm Al-qur’an adalah tata cara penulisan Al-qur’an, yang biasa disebut juga dengan rasm Utsmani. Status hokum Rasm Al-qur’an masih diperselisihkan dalam tiga hal: apakah tauqifi, bukan tauqifi atau ishtilahi. Rasm Utsmani memiliki fungsi yang sangat besar dalam menyatukan umat Islam. Pada awalnya rasm Utsmani tidak memiliki tanda baca tapi kemudian di tambahi dan disempurnakan.
Hubungan antara rasmul qur’an dan qira’ah sangat erat sekali Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-qur’an.Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.











BAB III
PENUTUP
      Kesimpulan
       Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasalam adalah rasul Allah yang diberi oleh-Nya mu’jizat yang amat berguna bagi umat manusia, bahkan sampai zaman ini mu’jizat tersebut, menjadi tuntunan bagi seluruh umat, barang siapa yang mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya pasti akan selamat di dunia maupun di akhirat dan barangsiapa yang melalaikan bahkan  tidak mau memahaminya niscaya akan celaka, mu’jizat itu tidak lain dan tidak bukan adalah Kitab Suci Al-Qur’an yang turun melalui perantara malaikat jibril secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW, kejadian tersebut dinamakan Nuzulul Qur’an.
Ayat-ayat Al Qur’an tidaklah diturunkan sekaligus secara keseluruhan, tetapi secara berangsur-angsur sesuai dengan keperluan yang ada. Surat-surat yang diturunkanya pun tidak sama jumlah panjang dan pendeknya, terkadang diturunkan sekaligus secara penuh dan terkadang sebagianya saja.
Dengan diturunkanya Al-Qur’an secara berangsur-angsur banyak hikmah yang akan diperoleh yaitu menetapkan hati Rasulullah, melemahkan lawan-lawannya, mudah difahami dan dihafal, penyusunannya akan sesuai dengan lalulintas peristiwa atau kejadian
Al Qur’an adalah Kalam (perkataan) Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Permulaan turunnya Al Qur’an adalah pada malam Lailatul Qadar, tanggal 17 Ramadhan bertepatan tanggal 6 Agustus 610 M, sewaktu beliau sedang berkhalwat (menyendiri) di dalam Gua Hira’ di atas Jabal Nur. Al Qur’an diturunkan secara bertahap dalam 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah.
Nabi SAW menyuruh sahabat menghafalkan ayat-ayat yang di ajarkannya, dan memerintahkan sahabat yang pandai menulis untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang. Pada masa Khulafaur Rasyidin penulisan Al Qur’an ditulis di atas lembaran-lembaran kertas yang disebut suhuf-suhuf. Suhuf-suhuf itu lalu disusun menjadi satu mushaf.
Sebelum ditemukan mesin cetak, Al Qur’an disalin dan diperbanyak dari mushaf Usmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke-16, ketika Eropa menemukan mesin cetak dapat digerakkan (dipisah-pisahkan). Al Qur’an pertama kali dicetak di Hamburg (Jerman) pada tahun 1694.





0 komentar:

Posting Komentar