PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
mempelajari ilmu Al-Quran, ada beberapa hal yang penting untuk dipelajari dan
salah satunya adalah bagaimana Al-Quran diturunkan dan bagaimana Al-Quran itu
dibukukan pada masa khulafaur Rasyidin. Karena dengan mengetahui bagaimana
proses pengumpulan Al-Qur’an kita dapat mengerti bagaimana usaha-usaha para
sahabat untuk tetap memelihara Al-Quran.
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslim dan menjadi sumber
ajaran islam yang pertama dan utama yang harus diimani dan diaplikasikan dalam
kehidupan agar memperoleh kebaikan didunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah
berlebihan jika selama ini kaum muslim tidak hanya mempelajari isi dan
pesan-pesannya, tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga
autentisitasnya. Upaya itu telah dilaksanakan sejak nabi Muhammad SAW masih
berada di makah dan belum berhijrah ke madinah hingga saat ini. Dengan kata
lain upaya tersebut telah mereka laksanakan sejak Al-Qur’an diturunkan hingga
saat ini.
Jika hakikat Al-Qur’an sudah terjawab maka akan muncul
pertanyaan lain, bagaimana Al-Qur’an diturunkan dan bagaimana pula pendapat
ulama menyikapi hal tersebut. Munculnya pertanyaan-pertanyaan serupa itu wajar
saja karena ada dua macam ayat yang membicarakan tentang turunnya Al-Qur’an.
Ayat-ayat tersebut terdapat dalam surat Al-Qadar ayat 1, dan surat Ad-Dhukan
ayat 3. Masing-maisng ayat tersebut berbunyi:
Artinya:
“Sungguh talah kami turunkan Al-Qur’an di malam Lailatul
Qodar”
Ayat yang pertama sering diperingati oleh umat islam pada
tanggal 17 Ramadhan. Ayat kedua diyakini oleh mayoritas umat islam adalah
malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. Jika
demikian halnya, kelihatannya ayat yang kedua diatas adalah ayat penengah,
artinya bahwa kedua ayat tersebut tidak ada permasalahan. Yang jelas bahwa
Al-Qur’an duturunkan pada bulan yang penuh berkah, yaitu bulan Ramadhan.
Sedangkan, proses turunnya Al-Qur’an disebut Nuzulul Qur’an.
B. Rumusan
Masalah.
1. Apakah
pengertian Nuzulul Qur’an itu?
2. Apa
bukti hiktoris Al-Quran di turunkan berangsur-angsur?
3. Bagaimana
penulisan Al-Quran pada masa nabi Muhammad Saw dan kholafatur roysidin?
4.
Bagaimana pemeliharaan Al-Quran setelah Kholafatur Roysidin?
5. Bagaimana penyempurnaan Mushaf/ Rosful
Usmani?
C. TUJUAN MASALAH
1.Untuk mengetahui
pengetian Nuzulul Quran
2.Untuk mengetahui
bukti-bukti hiktoris Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur
3.Untuk mengetahui
penulisan Al-Quran pada masa Nabi
4.Untuk mengetahui
pemeliharaan Al-Quran setelah Kholafatur Roysidin
5.Untuk mengetahui
penyempurnaan Mushaf/Rosful Usmani
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nuzulul Quran
Nuzulul Qur'an artinya adalah turunnya Al-Qur'an. Turunnya
Al-Qur'an untuk yang petama kalinya biasa diperingati oleh umat Islam yang
dikemas dalam suatu acara ritual yang disebut dengan Nuzulul Qur'an. Turunnya
Al-Qur'an untuk yang pertama kalinya merupakan tonggak sejarah munculnya satu
syari'at baru dari agama tauhid yaitu agama Islam. Sebagai penyempurna dari
agama-agama tauhid sebelumnya.
Ayat-ayat Al-Qur’an tidaklah diturunkan sekaligus secara
keseluruhan, tetapi secara berangsur-angsur sesuai dengan ketentuan yang ada.
Itulah sebabnya, ayat-ayat Al-Qu’an atau surat-suratnya yang diturunkan tidak
sama jumlah dan panjang pendeknya, terkadang diturunkan sekaligus secara penuh
dan terkadang sebagianya saja.
Menurut
Alim Ulama’ Al-Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui tiga tahapan:
1. Diturunkan
ke Lauhilmahfudzh.
2. Ke Bait
Al-‘Izzah di langit dunia.
3. Kemudian
baru diturunkan kepada nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur sesuai dengan
keparluan yang ada dan kasus-kasus yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW dan
kaum muslim.
Menurut pendapat yang terkuat dan riwayat yang sahih, firman
Allah yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah firman-Nya
disurat Al-Alaq:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan mu yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhan mu lah
yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang belum pernah ia ketahui.”
Penurunan surat pertama ini merupakan peristiwa
yang bersejarah yang terjadi pada malam Senin, tanggal 17 Ramadhan
tahun ke-41 dari usia Nabi Muhammad SAW atau 13 tahun sebelum beliau berhijrah
ke Madinah, bertetapan dengan bulan Juli tahun 610 Masehi. Malam pertama kali
Alquran diturunkan ini disebut oleh Alquran sendiri dengan Lailat al-Qadr (
Malam Kemuliaan) dan Lailat Mubarokah (Malam yang Diberkahi). Masing-masing
dari kedua nama-nama tersebut terdapat surat Al-Qodar:1 (tulis)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Alquran) pada malam
kemuliaan.”
dan surat Al-Dukhan:3-4: (tulis ayat)
“Sesungguhnya Kami menurunkan (Alquran) pada suatu malam
yang diberkahi dan sesungguhnya kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu
dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.”
Setelah surat Al-Alaq turunlah surat Al-Mudatsir, tepatnya
ketika Nabi Muhammad SAW sudah berada dirumah bersama istri beliau Khadijah,
sehabis pulang dari gua Hira. Setelah itu ayat-ayat Alquran terputus turun
untuk beberapa waktu lamanya. Masa terputusnya ayat-ayat Alquran ini turun
disebut fatrat al wahyi yakni masa terputusnya wahyu.
Berapa lamanya masa fatraul wahyi tersebut, terdapat
perbedaan pendapat. Menurut Ibn Ishaq masa fatrat al wahyi ini setidak-tidaknya
2,5 tahun, bahkan kemungkinan besar salama 3 tahun. Timbulnya kesimpang siuran
pendapat tentang masa fatrat al wahyi dapat dimengerti, sebab peristiwa
tersebut terjadi pada permulaan islam yang waktu itu jumlah kaum muslim masih
sangat terbatas. Disamping itu, mereka yang sudah berjumlah sedikit tersebut masih
harus mengalami sebagai macam pemberitaan dari pihak kaum musyrik quraisy,
sehingga tidak ada kesempatan untuk membuat catatan-catatan turunnya ayat-ayat
Alquran secara kronologis dan satu per satu secara berurutan.
Menurut riwayat yang terkuat, ayat Alquran yang terakhir
sekali diturunkan adalah ayat ketiga dari surat Al-Maidah:5 (tulis ayat)
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agama mu,
dan telah Aku cukupkan nikmat ku kepada mu, dan Aku rela islam itu adalah agama
untuk mu.”
Menurut
riwayat diatas, ayat terakhir tersebut diturunkan ketika Nabi Muhammad SAW
bersama para sahabat sedang wukuf di Arofah dalam rangka melaksanakan ibadah
haji terakhir ( aji Wada) pada hari Jumat, tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke-10
Hijriyah atau tahun ke 63 dari usia beliau. 81 malam setelah itu Nabi pun
wafat.
Pengertian
Al-Qu’an
Secara etimologi (bahasa) Al-Qur’an berarti bacaan karena
makna tersebut diambil dari kata qaraah, yaitu bentuk masdar dari kata qara.
Sedangkan secara terminology Al-Qur’an sudah banyak diberikan pengertian oleh
mufassir.
Ali Ash-Shobuni
menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang mu’jiz, diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril yang tertulis dalam mushaf,
diriwayatkan secara mutawatir, menjadi ibadah bagi yang membacanya, diawali
dari surah Al-Fatihah dan di akhiri dengan surah An-Nas.
.B. Bukti-bukti Al-Quran
Di turunkan secara Berangsur-angsur
Dali dan Bukti
Al-Qur’an Diturunkan Secara Berangsur
Al-Qur’an itu sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui tiga tahap. Pertama, penyampaian Al-Qur’an dari Allah SAW kepada Lawh Al-Mahfuzh. Maksudnya, sebelum Al-Qur’an disampaikan kepada Rasulullah SAW sebagai utusan Allah SWT terhadap manusia, ia terlebih dahulu disampaikan kepada Lawh Al-Mahfuzh, yaitu suatu lembaran yang terpelihara di mana Al-Qur’an pertama kalinya ditulis pada lembaran tersebut. Allah SWT menjelaskan, “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuz.“(QS. Al-Buruuj:21-22)
Tidak ada manusia yang tahu bagaimana cara penyampaian Al-Qur’an dari Allah SWT ke Lawh Al-Mahfuzh. Dan manusia tidak wajib mengetahuinya, tetapi wajib mempercayainya karena yang dikatakan Allah SWT.
Tahap kedua adalah turunnya ke langit pertama dengan sekaligus. Di langit pertama itu, ia disimpan pada Bayt Al-‘Izzah. Penurunan tahap kedua ini bertepatan dengan malam Qadar, seperti dalam Surat Al-Qadr (97) ayat 1, Ad-Dukhan (44) ayat 3, dan Al-Baqarah ayat 185. Ibnu Abbas mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Az-Zarqani: “Al-Qur’an diturunkan, secara sekaligus, ke langit dunia pada malam Qadr. Setelah itu, ia diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 20 tahun.”
Para Mufassirin mengkaji hikmah penurunan Al-Qur’an ke langit pertama. Fakhruddin Ar-Razi, misalnya mengatakan bahwa hikmah diturunkan Al-Qur’an ke langit dunia adalah untuk kemaslahatan, yaitu agar ia tidak jauh, baik dari Rasulullah SAW maupun dari malaikat, terutama malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Pendapat Ar-Razi ini dikomentari oleh Al-Hijazi. Dia mengatakan hal ini merupakan rahasia Allah SWT. Masalah tersebut lebih tinggi dari itu semua, di mata manusia sulit mengetahuinya.
Tahap ketiga adalah turunnya Al-Qur’an dari Bayt Al-‘Izzah secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, atau 23 tahun. Jibril menyampaikan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW, sehingga setiap kali wahyu ini disampaikan beliau langsung menghafalnya. Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah ayat 97 menyebutkan hal tersebut, yaitu: “Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”(QS. Al-Baqarah: 97)
Al-Qur’an itu sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui tiga tahap. Pertama, penyampaian Al-Qur’an dari Allah SAW kepada Lawh Al-Mahfuzh. Maksudnya, sebelum Al-Qur’an disampaikan kepada Rasulullah SAW sebagai utusan Allah SWT terhadap manusia, ia terlebih dahulu disampaikan kepada Lawh Al-Mahfuzh, yaitu suatu lembaran yang terpelihara di mana Al-Qur’an pertama kalinya ditulis pada lembaran tersebut. Allah SWT menjelaskan, “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuz.“(QS. Al-Buruuj:21-22)
Tidak ada manusia yang tahu bagaimana cara penyampaian Al-Qur’an dari Allah SWT ke Lawh Al-Mahfuzh. Dan manusia tidak wajib mengetahuinya, tetapi wajib mempercayainya karena yang dikatakan Allah SWT.
Tahap kedua adalah turunnya ke langit pertama dengan sekaligus. Di langit pertama itu, ia disimpan pada Bayt Al-‘Izzah. Penurunan tahap kedua ini bertepatan dengan malam Qadar, seperti dalam Surat Al-Qadr (97) ayat 1, Ad-Dukhan (44) ayat 3, dan Al-Baqarah ayat 185. Ibnu Abbas mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Az-Zarqani: “Al-Qur’an diturunkan, secara sekaligus, ke langit dunia pada malam Qadr. Setelah itu, ia diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 20 tahun.”
Para Mufassirin mengkaji hikmah penurunan Al-Qur’an ke langit pertama. Fakhruddin Ar-Razi, misalnya mengatakan bahwa hikmah diturunkan Al-Qur’an ke langit dunia adalah untuk kemaslahatan, yaitu agar ia tidak jauh, baik dari Rasulullah SAW maupun dari malaikat, terutama malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Pendapat Ar-Razi ini dikomentari oleh Al-Hijazi. Dia mengatakan hal ini merupakan rahasia Allah SWT. Masalah tersebut lebih tinggi dari itu semua, di mata manusia sulit mengetahuinya.
Tahap ketiga adalah turunnya Al-Qur’an dari Bayt Al-‘Izzah secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, atau 23 tahun. Jibril menyampaikan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW, sehingga setiap kali wahyu ini disampaikan beliau langsung menghafalnya. Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah ayat 97 menyebutkan hal tersebut, yaitu: “Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”(QS. Al-Baqarah: 97)
Klasifikasi tahap penurunan
Al-Qur’an di atas, didasarkan penyampaian Al-Qur’an dari Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW. Apabila klasifikasi tersebut didasarkan atas periode penyampaian
dakwah Islam dan penanaman serta pertumbuhan ajaran Islam, maka penurunan
Al-Qur’an dapat diklasifikasikan pula kepada periode Mekkah dan Madinah.
Periode Mekkah lebih kurang 13 tahun dan periode Madinah kurang lebih 10 tahun.
Dalam kajian Ulumul Al-Qur’an, hal ini disebut dengan ilmu Al-Makkiyah Wa
Al-Madaniyah. Jumlah surat yang diturunkan pada periode Mekkah lebih banyak
dari jumlah surat yang diturunkan pada periode Madinah. Surat yang diturunkan
pada periode Mekkah adalah berjumlah 86 surat, sedangkan periode Madinah
berjumlah 28 surat. Perbedaan antara kedua periode ini ditandai dengan
perjalanan dakwah Islam oleh Rasulullah SAW, yaitu yang terdiri dari sebelum
hijrah yang disebut periode Mekkah, dan setelah hijrah yang disebut periode
Madinah.
Seperti yang telah digambarkan di atas, bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak dengan sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur. Hal ini mendapat ejekan dan kritik dari kaum kafir. Mereka mempertanyakan kenapa Al-Qur’an tidak diturunkan dengan sekaligus. Kitab-kitab sebelum Al-Qur’an diturunkan dengan sekaligus. Maka Al-Qur’an menjawab kritikan dan protes kaum kafir itu. Allah menjawab dengan beberapa berfirman-Nya: “Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).”(QS.Al-Furqan:32). “Dan Al Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.”(QS.Al-Isra’:106)
Seperti yang telah digambarkan di atas, bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak dengan sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur. Hal ini mendapat ejekan dan kritik dari kaum kafir. Mereka mempertanyakan kenapa Al-Qur’an tidak diturunkan dengan sekaligus. Kitab-kitab sebelum Al-Qur’an diturunkan dengan sekaligus. Maka Al-Qur’an menjawab kritikan dan protes kaum kafir itu. Allah menjawab dengan beberapa berfirman-Nya: “Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).”(QS.Al-Furqan:32). “Dan Al Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.”(QS.Al-Isra’:106)
C. Penulisan Al-Quran Pada Masa NABI
Dan KHULAFAUR ROYSIDIN
Kodifikasi
atau pengumpulan Al Qur’an telah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan telah
dimulai sejak masa-masa awal turunnya Al Qur’an. Sebagaimana diketahui, Al
Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur. Setiap kali menerima wahyu, Nabi
muhammad SAW membacakannya dihadapan para sahabat karena ia memang di
perintahkan untuk mengajarkan Al Qur’an kepada mereka.
Di samping menyuruh sahabat
menghafalkan ayat-ayat yang di ajarkannya, Nabi SAW juga memerintahkan sahabat
yang pandai menulis untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma,
lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang. Para sahabat pun sangat
bersungguh-sungguh dalam menghafalkan atau mempelajari Al Qur’an. Sahabat yang
pandai menulis juga sangat berhati-hati menuliskan ayat-ayat. Hal ini di dorong
oleh keyakinan mereka bahwa Al Qur’an adalah firman Allah SWT yang harus
dijadikan pedoman hidup sehingga perlu dijaga dengan baik.
Setelah ayat-ayat yang
diturunkan cukup satu surah, Nabi SAW memberi nama surah tersebut untuk
membedakannya dari surah yang lain. Nabi SAW juga memberi petunjuk tenteng
urutan penempatan surah di dalam Al Qur’an. Penyusunan ayat-ayat dan
penempatannya di dalam susunan Al Qur’an juga dilakukan berdasarkan petunjuk
Nabi SAW. Cara pengumpulan Al Qur’an yang dilakukan di masa Nabi SAW tersebut
berlangsung sampai Al Qur’an sempurna dilakukan dalam masa kurang lebih 23
tahun.[1][4]
Adapun sahabat-sahabat yang
menjadi juru tulis wahyu, antara lain :
1.
Abu Bakar
as-Shidiq,
2.
Umar bin Khattab,
3.
Usman bin Affan,
4.
Ali bin Abi Talib,
5.
Amir bin
Fuhairah,
6.
Zaid bin Sabit,
7.
Ubay bin Ka’b,
8.
Mu’awiyah bin Abu
Sufyan,
9.
Zubair bin Awwam,
10.
Khalid bin Walid,
dan
11.
Amr bin As
Tulisan ayat-ayat Al Qur’an
yang di tulis oleh mereka di simpan di rumah Rasulullah SAW. Mereka pun
masing-masing menulis untuk di simpan sendiri. Walaupun demikian,
tulisan-tulisan itu belum di kumpulkan dalam satu mushaf (sebuah buku yang terjilid seperti
yang di jumpai sekarang), melainkan masih berserakan.[2][5]
Setelah
Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar dipilih menjadi khalifah, tulisan- tulisan Al Quran yang berserakan pada
pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang binatang, dan batu-batu tetap disimpan di rumah Rasulullah SAW sampai
terjadinya peranh Yamamah yang merenggut korban kurang lebih tujuh puluh sahabat penghafal Al
Qur’an (hufaz). Karena banyak sahabat penghafal Al Qur’an yang gugur
sebagai syuhada, timbul kekhawatiran di kalangan sahabat akan terjadinya perang
lagi dan punahnya sahabat-sahabat pengahafal Al Qur’an yang akhirnya akan
menyebabkan hilangnya Al Qur’an. Umar bin Khattab lalu menyarankan kepada
Khalifah Abu Bakar agar menghimpun surah-surah dan ayat-ayat yang masih
berserakan itu ke dalam satu mushaf.
D.PEMELIHARAAN AL-QURAN SETELAH KHULAFAUR ROYSIDIN
Walaupun Rosulullah SAW secara
pribadi tidak pernah menulis Al Qur’an karena Nabi SAW tidak pandai membaca dan menulis, tetapi ia sangat kuat mendorong
sahabat-sahabatnya untuk belajar baca-tulis. Setiap kali Rasulullah SAW
menerima wahyu, para penulis itu pun segerta dipanggil untuk menulis dan
mencatatnya disamping sahabat-sahabat yang menghafalnya.
Sebelum Rasulullah SAW wafat, Al Qur’an secara keseluruhan telah selesai
penulisannya dengan urutan surah-surah dan ayat-ayat berdasarkan petunjuk
Rasulullah SAW sendiri. Penulisannya di masa itu masih menggunakan alat-alat
yang sangat sederhana, seperti pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu
dan kepingan-kepingan tulang, sehingga sulit untuk dihimpun dalam satu
kumpulan.
Masa Khulafaur Rasyidin diadakan penulisan ulang Al Qur’an dengan memakai
lembaran-lembaran kertas atau suhuf.
Lembaran-lembaran atau suhuf yang
bertuliskan ayat-ayat Al Qur’an itu kemudian diikat dengan benang sehingga
membentuk satu mushaf (kumpulan
lembaran).
Akan tetapi setelah semakin banyak orang-orang non-Arab memeluk Islam,
timbul kesulitan besar dalam membaca tulisan Al Qur’an. Kalaupun ada yang bisa
membacanya, maka pembacaannya banyak mengandung kesalahan dan kekeliruan akibat
tidak adanya tanda-tanda baca yang memadai. Apabila keadaan ini dibiarkan
berlarut-larut, dikhawatirkan akan timbul kekacauan di kalangan umat Islam.
Sebelum ditemukan mesin cetak, Al Qur’an disalin dan diperbanyak dari mushaf Usmani dengan cara tulisan
tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke-16, ketika Eropa menemukan mesin
cetak dapat digerakkan (dipisah-pisahkan). Al Qur’an pertama kali dicetak di
Hamburg (Jerman) pada tahun 1694.
Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak
ini mempermudah umat Islam memperbanyak mushaf
Al Qur’an. Mushaf pertama yang
dicetak oleh kalangan imam sendiri ialah mushaf
edisi Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St.
Petersburg, Rusia.
Kemudian sejak tahun 1976 Al Qur’an dicetak dalam berbagai ukuran dan
jumlah oleh percetakan yang dikelola oleh pengikut Sa’id Nursi di Berlin
(Jerman). Sekarang kita dapat menjumpai berbagai bentuk dan ukuran Al Qur’an
dari tulisan yang bentuknya sederhana sampai tulisan yang indah. Dengan demikian, Al Qur’an terjaga dari
segala bentuk kekeliruan dan kesalahan, baik disengaja ataupun tidak disengaja.
E.PENYEMPURNAAN MUSHAF/ ROSFUL USMANI
Rasmul qur’an merupakan salah satu bagian disiplin ilmu alqur’an.
yang mana di dalamnya mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang
dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun
bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan nama Rasm
Utsmani.
Penulisan Al-qur’an pada masa
Nabi SAW dilakukan oleh para sahabat-sahabatnya. Nabi juga membentuk tim khusus
untuk sekretaris (juru tulis) Al-qur’an guna mencatat setiap kali turun wahyu.
Diantara mereka ialah; zaid binTsabit, Ubai bin Ka’ab dan Tsabit bin Qais.
Tulisan Qur’an Utsmani adalah
tulisan yang dinisbatkan kepada sayyidina Utsman ra. (Khalifah ke III). Istilah
ini muncul setelah rampungnya penyalinan al-Quran yang dilakukan oleh team yang
dibentuk oleh Utsman pada tahun 25H. oleh para Ulama cara penulisan ini
biasanya di istilahkan dengan “Rasmul ‘Utsmani’. Yang kemudian dinisbatkan
kepada Amirul Mukminin Utsman ra.
1.
Pegertian Rasm
Utsmani
Rasm Utsmani adalah rasm (bentuk ragam tulis) Yang telah diakui dan diwarisi
oleh umat islam sejak masa Utsman. Dan pemeliharaan pemeliharaan rasm Utsmani
merupakan jaminan kuat bagi penjagaan Al-Qur’an dari prubahan dan pergantian
huruf-hurufnya.
Rasmul Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan
Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasmul Qur’an
diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan
sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang
ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari, Zaid bin Tsabit, Mus bin zubair,
Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan
kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
1.
Al–Hadzf (membuang, menghilangkan, atau
meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’
nida’(يَََآَ يها النا س ).
2.
Al – Jiyadah (penambahan), seperti
menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang
mempunyai hokum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah
marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
3.
Al – Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa
apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis
dengan huruf ber-harakat yang sebelumnya, contoh (ائذن ).
4. Badal (penggantian), seperti alif ditulis
dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
5.
Washal dan fashl(penyambungan
dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan
kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
6. Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang
dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu
bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan
menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم
الدين ). Ayt ini boleh
dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua alif), boleh juga
dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).[1]
2.
Pengumpulan
Al-Qur’an pada masa Utsman
Ketika
terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk irak, diantara orang yang
ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin Al-yaman. Ia melihat banyak
perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur
dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada
bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaanya dan bahkan
mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segera
menghadap Utsman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Utsman
juga memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itupun akan
terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qira’at kepada anak-anak. Anak-anak
itu akan tumbuh sedang diantara mereka terdapat perbedaan Qira’at. Para sahabat
amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau perbedaan itu akan
menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin
lembaran-lembaran pertamayang ada pada abu bakar dan menyatukan umat islam pada
lembaran-lembaran itu dengan bacaan yang tetap dengan satu huruf.
Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu
Bakar yang ada padanya) dan hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu
kepadanya. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Sabit al-Ansari, Abdullah bin
Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin hisyam, ketiga orang
terakhir ini adalah suku Quraisy, lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan
memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agarapa yang
diperselisihkan Ziad dengan ketiga orang Quraisy itu ditulis dalam bahasa
Quraisy, karena Al-Qur’an turun dengan logat mereka.
Dari Anas: “bahwa Huzaifah
bin Al-Yaman datang kepada Utsman dan pernah ikut berperang melawan
penduduk syam. Huzaifah amat terkejut oleh perbedaan mereka dalam bacaaan. Lalu
ia berkata kepada Utsman: “selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlbatdalam
perselisihan (dalam masalah kitab) sebagaimana perselisihan orang-orang yahudi
dan nasrani. Utsman pu berkata kepada ketiga orang Quraisy (Abdullah bin
Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin hisyam) itu: “Bila kamu
berselisih pendapat denga Zaid bin Sabit tentang sesuatu dari Qur’an. Maka
tulislah dengan logat Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
Quraisy”. Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya
menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lemabaran-lembaran asli itu
kepada Hafsah. Selanjutnya Utsman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf baru
tersebut dan memerintahkan agar semua Al-Qur’an dibakar.
Keterangan ini menunjukan
bahwa apa yang dilakukan Utsman itu telah disepakati oleh para sahabat.
Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Al-qur’an
seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu Qira’at. Dan Utsman
telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsah, lalu
dikirimkannya pula kesetiap wilayah masing-masing satu mushaf, dan ditahannya
satu mushaf untuk dimedinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian dikenl
dengan nama “Mushaf Imam”.
Penamaan mushaf imam itu
sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahulu dimana ia
mengatakan : “Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk
semua orang satu imam (mushaf Al-Qur’an pedoman). Kemudian ia memerintahkan
membakar semua bentuk lebaran atau mushaf yang selain itu. Umat pun menerima
perintah itu dengan patuh, sedangkan qira’at degan enam huruf lainnya
ditinggalkan . keputusan ini tidak salah sebab Qira’at dengan tujuh huruf itu
semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawattir sehingga menjadi
hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukan bahwa Qira’at dengan
tujuh huruf itu termasuk dalam kategori keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah
menyampaikan sebagai dari ketujuh huruf tersebut secara mutawattir.[2]
3.
Ar-Rasmul
Utsmani
Setelah kita membicarakan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman. Zaid bin
Sabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu metode Khusus dalam
penulisan Al-Qur’an yang telah disetujui oleh Utsman. Para ulama menamakan
metode tersebut dengan ar-rasmul ‘Ustmani lil mushaf, yaitu dengan dinisbahkan
kepada utsman. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya.
1. Sebagian dari mereka
berpendapat bahwa rasm usmani buat Al-Qur’an ini bersifat taufiqi yang wajib
dipakai dalam penulisan Al-Qur’an, dan harus sungguh-sungguh disucikan. Mereka
menisbahkan taufiqi dalam penulisan Al-Qur’an ini kepada nabi. Penambahan ini
sama sekali tidak bersumber dari nabi Rasulullah Saw, yang membuktikan
bahwarasm itu taufiqi. Tetapi sebenarnya para penulislah yang mempergunakan
istilah dan cara tersebut pada masa Utsman atas izinnya, dan bahkan Utsman
telah memberikan pedoman kepada mereka.
2. Banyak ulama berpendapat bahwa
Rasm Utsmani bukan taufiqi dari nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan
yang disetujui Utsman dan diterima umat dngan baik, sehingga menjadi suatu
keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar.
3. Segolongan orang berpendapat
bahwa rasm Utsmani itu hanyalah sebuah istilah, tatacara, dan tidak ada
salahnya jika menyalahi bila orang telah mempergunakan satu rasm tertentu untuk
imla’ dan rasm itu tersiar luas diantara mereka.
Abu bakar al-Balqani menyebutkan dalam kitabnya
al-intisar “tidak ada yang diwajibkan oleh Allah mengenai (cara atau bentuk)
penulisan mushaf. Karena itu para penulis Al-Qur’an dan mushaf tidak diharuskan
menggunakan rasm tertentu yang diwajibkan kepada mereka sehingga tidak boleh
cara lain, hal ini mengingat kewajibansemacam ini hanya dapat diketahui melalui
pendengaran (dalil sam’iy) dan taufiqi[3]
4.
Perbaikan Rasm
Utsmani
Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena
semata-mata didasarkanpada watak pembawaan orang-orang arab yang masih murni,
sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harkat dan pemberian titik.
Ketika bahasa arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran
(dengan bahasa non arab), maka para penguasa merasa pentingnnya ada perbaikan
penulisan mushaf dengan syakal, titik dan lain-lain yangdapat membantu
pembacaan yang benar. Para ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang
dicurahkan untuk hal itu.banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang
melakukan hal itu adalah Abul Aswad ad-Du’ali, peletak pertama
dasar-dasar kaidah bahasa arab, atas permintaan Ali bin Abi Thalib.
Perbaikan rasm mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa
titik: fathah berupa satu titik diatas awal huruf, dammah berupa satu titik
diatas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf. Kemudian
terjadi perubahan penentuuan harkat yang berasal dari huruf, dan itulah yang
dilakukan oleh al-Khalil. Perubahan itu ialah fathah adalah dengan tanda
sempang di atas huruf, kasrah berupa tanda sempang dibawah huruf, dammah dengan
wawu kecil diatas huruf dan tanwin dengan tamabahan tanda serupa. Alif yang
dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan warna merah. Hamzah
yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada
“nun” dan “tanwin” sebelum huruf “ba” diberi tanda iqlab berwarna merah. Sedang
nun dan tanwin sebelum huruf tekak diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun
dan tanwin tidak diberi tanda apa-apa ketika idgham dan ikhfa. Setiap huruf
yang dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di idghamkan tidak
diberi tanda sukun tetapi huruf yang sesudahnya diberi tanda syaddah, kecuali
huruf “tha” sebelum “ta” makan suku tetap dituliskan.
Kemudian pada abad ketiga hijriah terjadi perbaikan dan penyempurnaan rasm
mushaf. Dan orangpun berlomb-lomba memilih bentuk tulisan yang baik dan
menemukan tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan untuk huruf yang disyaddah
sebuah tanda seperti busur. Sedang untuk alif wasal diberi lekuk diatasnya,
dibawahnya atau ditengahnya sesuai dengan harkat sebelumnya : fathah, kasrah,
atau dammah.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir
akan terjadi penembahan dalam Al-Qur’an, berdasarkan ucapan ibnu mas’ud:
“Bersihkanlah Al-Qur’an dan jangan dicampuradukan dengan apapun. Kemudian
akhirnya hal itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran. Diriwayatkan
oleh ibnu abu Daud dari al-Hasan dan ibnu sirin bahwa keduanya mengatakan :
“Tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf”. Dan diriwayatkan pula oleh
Rabi’ah bin Abi Abdurrahman mengatakan : “Tidak mengapa memberi syakal pada
mushaf “. An-Nawawi mengatakan: “pemberian titik dan penyakalan mushaf itu
dianjurkan (mustahab), karena ia dapat menjaga mushaf dari kesalahan dan
penyimpangan.
Perhatian untuk menyempurnakan rasm mushaf kini telah mencapai puncaknya dalam
bentuk tulisan arab (al-khattul ‘arabiy)[4]
Jadi
Kesimpulanya:
Rasm Al-qur’an adalah tata
cara penulisan Al-qur’an, yang biasa disebut juga dengan rasm Utsmani. Status
hokum Rasm Al-qur’an masih diperselisihkan dalam tiga hal: apakah tauqifi,
bukan tauqifi atau ishtilahi. Rasm Utsmani memiliki fungsi yang sangat besar
dalam menyatukan umat Islam. Pada awalnya rasm Utsmani tidak memiliki tanda
baca tapi kemudian di tambahi dan disempurnakan.
Hubungan antara rasmul qur’an
dan qira’ah sangat erat sekali Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat
ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian
yang terkandung didalam Al-qur’an.Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa
keberadaan mushaf ‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih
membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan
dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nabi Muhammad Salallahu Alaihi
Wasalam adalah rasul Allah yang diberi oleh-Nya mu’jizat yang amat berguna bagi
umat manusia, bahkan sampai zaman ini mu’jizat tersebut, menjadi tuntunan bagi
seluruh umat, barang siapa yang mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya
pasti akan selamat di dunia maupun di akhirat dan barangsiapa yang melalaikan
bahkan tidak mau memahaminya niscaya akan celaka, mu’jizat itu tidak
lain dan tidak bukan adalah Kitab Suci Al-Qur’an yang turun melalui perantara
malaikat jibril secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW, kejadian tersebut
dinamakan Nuzulul Qur’an.
Ayat-ayat Al Qur’an tidaklah diturunkan sekaligus secara
keseluruhan, tetapi secara berangsur-angsur sesuai dengan keperluan yang ada.
Surat-surat yang diturunkanya pun tidak sama jumlah panjang dan pendeknya,
terkadang diturunkan sekaligus secara penuh dan terkadang sebagianya saja.
Dengan diturunkanya Al-Qur’an secara berangsur-angsur banyak
hikmah yang akan diperoleh yaitu menetapkan hati Rasulullah, melemahkan
lawan-lawannya, mudah difahami dan dihafal, penyusunannya akan sesuai dengan
lalulintas peristiwa atau kejadian
Al Qur’an adalah Kalam (perkataan) Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Permulaan
turunnya Al Qur’an adalah pada malam Lailatul Qadar, tanggal 17 Ramadhan
bertepatan tanggal 6 Agustus 610 M, sewaktu beliau sedang berkhalwat (menyendiri) di dalam Gua Hira’ di atas Jabal Nur. Al Qur’an diturunkan secara
bertahap dalam 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan
10 tahun di Madinah.
Nabi SAW menyuruh sahabat
menghafalkan ayat-ayat yang di ajarkannya, dan memerintahkan sahabat yang
pandai menulis untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma,
lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang. Pada masa Khulafaur Rasyidin penulisan Al Qur’an ditulis di atas
lembaran-lembaran kertas yang disebut suhuf-suhuf.
Suhuf-suhuf itu lalu disusun menjadi
satu mushaf.
Sebelum ditemukan mesin cetak, Al Qur’an disalin dan diperbanyak dari mushaf Usmani dengan cara tulisan
tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke-16, ketika Eropa menemukan mesin
cetak dapat digerakkan (dipisah-pisahkan). Al Qur’an pertama kali dicetak di
Hamburg (Jerman) pada tahun 1694.
0 komentar:
Posting Komentar