BAB I
PENDAHULUAN
Amandemen diambil dari bahasa Inggris yaitu
"amendment". Amends artinya merubah, biasanya untuk masalah hukum.
The law has been amended (undang-undang itu telah di amandemen). Jadi yang
dimaksud dengan Amandemen UUD 45 pasal-pasal dari UUD 45 itu sudah mengalami
perubahan yang tertulis atau maknanya, barangkali. Kapan UUD 45 itu dimandemen
?. Perlu diketahui ada perbedaan antara rancangan UUD yang dibuat oleh pantia
BPUPKI dengan naskah UUD 45 yang disetujui dan ditetapkan pada tanggal 18
Agustus 1945. Jadi anggaplah dasar UUD 45 yang belum diamandemen adalah UUD 45
yang tercantum dalam ketetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Memilih Soekarno dan Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh
sebuah Komite Nasional. Dan memang dalam Aturan Peralihan UUD 45, pasal IV
tercantum : Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan perwakilan rakyat dan
Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-undang Dasar ini, segala kekuasaannya
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.
Dengan perkataan lain saat itu Presiden berkuasa tanpa
batas karena beliau berfungsi ya sebagai eksekutif, sebagai pimpinan
legislatif. Ini kurang demokratis, padahal Republik Indonesia saat itu harus
menunjukkan sifatnya yang didukung rakyat. Kalau tidak, maka Belanda bakal
berkoar-koar membenarkan bahwa Pemerintahan Soekarno, fasistik ala Jepang.
Makanya konstitusi kita dicermati harus diamandemen.
Sejarah menggambarkan bahwa muncullah petisi (kurang
lebih 50 orang) untuk merubah KNIP (yang tadinya sekadar badan pembantu
Presiden) menjadi sebuah badan legislatif. Karena untuk memunculkan apa yang
tertulis dalam undang-undang yaitu terbentuknya MPR dan DPR, sulit direalisir
saat itu. Jadi mengapa tidak KNIP saja yang dirubah jadi MPR sementara. Pada
tanggal 22 Agustus 1945, PPKI yang berubah menjadi PK (Panitia Kemerdekaan)
menetapkan pembentukan Komite nasional, Partai Nasional Indonesia (Staat
partij, bukan PNI partai politik) dan Badan Keamanan Rakyat. dan pada tanggal
29 Agustus 1945, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) terbentuk
dengan ketuanya Mr Kasman Singodimedjo. Wakilnya ada 3 orang yaitu
masing-masing, 1. Sutardjo Kartohadikoesoemo, 2. Mr Johanes Latuharhary, dan Adam
Malik.
Dalam sidangnya yang pertama dibalai Muslimin Jakarta,
pada tanggal 16 Oktober 1945, KNIP keadaannya kacau. Semua ingin bicara dan
merasa perlu ikut bicara. Meskipun demikian hasilnya ada juga yaitu meminta hak
legislatif kepada Presiden sebelum terbentuknya MPR dan DPR. Seperti telah
disebutkan diatas, sejumlah 50 orang dipimpin oleh Soekarno membuat petisi
untuk merubah fungsi dan status KNIP. Sejumlah anggota kabinet seperti Amir
Sjarifudin dan Hatta bisa menyetujui (Soekarno tidak hadir dalam sidang KNIP
pertama ini). Maka Wakil presiden Mohammad Hatta menerbitkan Maklumat wakil
Presiden no.X tapi dengan kop : Presiden Republik Indonesia. Isinya :
Memutuskan : Bahwa KNIP sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi kekuasaan
legislatif dan ikut menetapkan GBHN serta menyetujui bahwa pekerjaan KNIP
sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan
Pekerja yang dipilih diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada
KNIP.
Siapakah yang diangkat menjadi ketua BP KNIP itu ?
Dialah Sutan Sjahrir. Dan Wakilnya diangkat Amir Sjarifudin. Sekretaris Mr
Soewandi. Jumlah anggota BP KNIP adalah 15 orang. Maka mulailah bekerja BP KNIP
ini dan kantornya di Jalan Cilacap Jakarta (sekarang dipakai UBK). Salah satu
produk hukum yang dibuat oleh BP KNIP adalah maklumat no.5 tentang pertanggung
jawaban menteri-menteri dan susunan dewan kementerian baru. Dokumen ini amat
penting karena tanpa disadari merupakan rancangan perubahan konstitusi yang
amat mendasar. Konsekwensinya kalau disetujui, maka terjadilah perubahan sistim
kabinet presidentiel, menjadi kabinet ministriel. Lucunya Soekarno-Hatta
menyetujui. Bahkan Soekarno meminta Sjahrir bertindak sebagai Perdana menteri.
Kabinet Sjahrir terbentuk dan serah terima terjadi pada tanggal 14 November
1945. Anehnya ketika berlangsungnya sidang KNIP kedua Sjahrir masih sebagai
ketua BP KNIP dan sudah serah terima dengan kabinet lama. Padahal saat itu dia
sudah Perdana menteri. Demikianlah kisah sejarah dalam negeri yang namanya
Republik Indonesia ini. Rupanya amandemen bukan barang baru. Tidak aneh kalau
Amin Rais Cs melakukannya tahun 2002. (Disarikan dari berbagai sumber). Mungkin
untuk menyiasati tantangan yang muncul yang menggoyahkan sendi negara, para
politikus, tidak segan-segan mengamandemen peraturan-perundangan yang sedang
berlaku.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perlu Amandemen UUD 45 Guna Sempurnakan
Ketatanegaraan
MPR menganggap amandemen UUD 45 masih dibutuhkan.
Hanya saja amandemen itu harus dilakukan secara komprehensif. Alasanya ada sejumlah
pasal-pasal yang memerlukan penyempurnaan untuk pengelolaan ketatanegaraan yang
lebih baik. “Pada intinya FKB mendukung perubahan amandemen terhadap UUD 45.
Namun harus dilakukan secara komprehensif. Disamping itu, Perlunya amandemen
itu karena adanya kebutuhan untuk pengeloaan negara secara baik, misalnya ada
beberapa pasal ketatanegaraan yang perlu penyempurnaan
Pakar hukum Dr Adnan Buyung Nasuiton mengusulkan perlu
dibentuk komisi negara yang mengkaji secara khusus amandemen UUD 45. Sehingga
perubahan dan perbaikan terhadap UUD 45 hasil amandemen tidak menimbulkan
persoalan baru. ‘Perubahan UUD 45 hasil amandemen perlu dilakukan secara
menyeluruh dan tidak bisa dilakukan secara parsial, lebih jauh Adnan
mengkhawatirkan jika perubahan UUD 45 itu dilakukan secara parsial, atau bagian
demi bagian dan tanpa melihat konteksnya secara luas atau tanpa dibarengi suatu
konsep perubahan baru. Justru akan menyisakan persoalan baru yang sarat dengan
tumpang tindih.
Menurutnya, sampai saat ini ada beberapa kelompok yang
menolak hasil amandemen UUD 45 dan menuntut kembali ke UUD 45 yang asli.
Keberatan itu, sebenarnya terkait dengan tiga hal, pertama-persoalan konsep
negara [staatsidee] yang berkenaan dengan paham kedaulatan rakyat dan
pemeritahan demokratis konstitusional. Kedua, persoalan dasar negara yang
mencakup dasar Negara Islam Vs Pancasila yang dikhawatirkan adalah munculnya
kekuatan yang memaksakan memasukkan Islam yang secara substantif menggeser
Pancasila sebagai dasar negara. Dan ketiga, soal kepentingan politik yang
menyangkut pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat
dan tidak melalui forum MPR.
Yang jelas, kata Adnan, hasil amandemen ke empat UUD
45 telah membawa perbaikan, diantaranya pembatasan masa kekuasaan presiden,
adanya perlindungan hak azasi manusia dan jaminan kesejahteraan rakyat.
Sejumlah perubahan mendasar itu cukup baik, namun masih ada kelemahannya,
secara konseptual maupun teknis yuridis.
B. Pasal-Pasal yang diamandemen
1. Perubahan pertama
Meliputi antara lain hal-hal berikut ini :
- Mengurangi,
membatasi, serta mengendalikan kekuasaan presiden.
- Hak
membentuk UUD yang dulu ada ditangan presiden sekarang ada pada DPR,
sedangkan presiden hanya berhak mengajukan rancangan UUD kepada DPR.
Pasal-pasal yang mengalami perubahaatau penambahan
pada perubahan pertama adalahpasal 5, ayat 1 diubah: pasal 7 diubah; pasal 9
diubah; pasal 13 ayat 2 diubah dan ditambah satu ayat; pasal 20 diubah menjadi
empat ayat; pasal 21 ayat 1 diubah.
2. Perubahan kedua
Meliputi antara lain hal-hal berikut ini :
- Pemerintahan
daerah
- Keanggotaan,
fungsi, hak, serta para pengisian keanggotaan
- Wilayah
Negara
- Hak
asasi manusia
- Pertahanan
keamanan Negara
- Mengenai
bendera, bahasa, lambang, Negara dan lagu kebangsaan
C. Kedudukan Konstitusi
Demikian pula negara, pada umumnya selalu memiliki
naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Bahkan negara
yang tidak memiliki satu naskah konstitusi seperti Inggris, tetap memiliki
aturan-aturan yang tumbuh1 menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek
ketatanegaraan dan para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam
konteks hukum tata negara Inggris, sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood
and Jackson sebagai berikut : “a body of laws, customs and conventions that
define the composition and powers of the organs of the State and that regulate
the relations of the various State organs to one another and to the private
citizen.”
Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu
tercakup juga pengertian peraturan tertulis dan tidak tertulis. Peraturan tidak
tertulis berupa kebiasaan dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan)
yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hubungan
antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut
dengan warga negara.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang
mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang
dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat,
maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah
paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu
konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power3
yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang
diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang
dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Hal itu dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat,
misalnya melalui referendum, seperti yang dilakukan di Irlandia pada tahun
1937, atau dengan cara tidak langsung melalui lembaga perwakilan rakyat. Dalam
hubungannya dengan kewenangan mengubah UUD, cara tidak langsung ini misalnya
dilakukan di Amerika Serikat dengan menambahkan naskah perubahan Undang-Undang
Dasar secara terpisah dari naskah aslinya. Meskipun, dalam pembukaan Konstitusi
Amerika Serikat (preambule) terdapat perkataan “We the people”, tetapi yang
diterapkan sesungguhnya adalah sistem perwakilan, yang pertama kali diadopsi
dalam konvensi khusus (special convention) dan kemudian disetujui oleh
wakil-wakil rakyat terpilih dalam forum perwakilan negara yang didirikan
bersama.
Dalam hubungan dengan pengertian constituent power
tersebut di atas, muncul pula pengertian constituent act. Dalam hubungan ini,
konstitusi dianggap sebagai constituent act, bukan produk peraturan legislatif
yang biasa (ordinary legislative act). Constituent power mendahului konstitusi,
dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk
berdasarkan konstitusi. Seperti dikatakan oleh Bryce, konstitusi tertulis
merupakan:
“The instrument in which a constitution is embodied
proceeds from a source different from that whence spring other laws, is
regulated in a different way, and exerts a sovereign force. It is enacted not
by the ordinary legislative authority but by some higher and specially
empowered body. When any of its provisions conflict with the provisions of the
ordinary law, it prevails and the ordinary law must give way”.
Karena itu, dikembangkannya pengertian constituent
power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law).
Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta
paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber
legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan
perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal,
maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang
Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Atas dasar logika
demikian itulah maka Mahkamah Agung Amerika Serikat menganggap dirinya memiliki
kewenangan untuk menafsirkan dan menguji materi peraturan produk legislatif
(judicial review) terhadap materi konstitusi, meskipun Konstitusi Amerika tidak
secara eksplisit memberikan kewenangan demikian kepada Mahkamah Agung.
Basis pokok berlakunya konstitusi adalah adanya
kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat
mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara
itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama
dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme
yang disebut negara. Kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement.
Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara
yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi
dapat terjadi. Hal ini misalnya, tercermin dalam tiga peristiwa besar dalam
sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun
1789, di Amerika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun di
Indonesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998.
D. Perubahan UUD 1945
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa
Indonesia pada masa reformasi adalah reformasi konstitusional (constitutional
reform). Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang
harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk
mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat,
terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi
manusia.
Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan
menjadi salah satu agenda Sidang MPR dari 1999 hingga 2002. Perubahan pertama
dilakukan dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999. Arah perubahan pertama UUD 1945
adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.
Perubahan kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR
Tahun 2000. Perubahan kedua menghasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang
meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah,
menyempumakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan
ketentuan-ketentuan terperinci tentang HAM.
Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR
2001. Perubahan tahap ini mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan pasal
tentang asas-asas landasan bemegara, kelembagaan negara dan hubungan
antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.
Sedangkan perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002.
Perubahan Keempat tersebut meliputi ketentuan tentang kelembagaan negara dan
hubungan antarlembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan
peralihan serta aturan tambahan.
Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi
hampir keseluruhan materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir
ketentuan, sedangkan perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan.
Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25 (12%)
butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 (88%)
butir ketentuan merupakan materi yang baru atau telah mengalami perubahan.
Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat
sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula
dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan
sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya
masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar
(concentration of power and responsibility upon the President) menjadi prinsip
saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip-prinsip
tersebut menegaskan cita negara yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang
demokratis.
Setelah berhasil melakukan perubahan konstitusional,
tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah pelaksanaan UUD 1945 yang telah
diubah tersebut. Pelaksanaan UUD 1945 harus dilakukan mulai dari konsolidasi
norma hukum hingga dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai
hukum dasar, UUD 1945 harus menjadi acuan dasar sehingga benar-benar hidup dan
berkembang dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living
constitution).
BAB III
PENUTUP
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya
perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD
1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan
rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang
terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta
kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum
cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah
menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM,
pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta
hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD
1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau
selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali
perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR
:
- Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14 Oktober-21 Oktober
1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7 Agustus-18
Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1 November-9
November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1 Agustus-11
Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
DAFTAR PUSTAKA
Alrasid,
Harun. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah Oleh MPR. Revisi Cetakan
Pertama. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2003.
Asshiddiqie,
Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di
Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.
Mahfud MD.,
Moh. Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka
Cipta, 2001.
Montesquieu.
The Spirit of the laws. Translated by Thomas Nugent. London: G. Bell &
Sons, Ltd, 1914.
Simanjuntak,
Marsillam. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam
Persiapan UUD 1945. Jakarta: Pustaka Grafiti, 1993.
Tim Nasional
Reformasi Menuju Masyarakat Madani, Pokok-pokok Usulan Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung, dipresentasikan di hadapan
Pimpinan dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI pada tanggal 15 Juni 1999 di
Jakarta.
Yamin,
Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jilid Pertama. Jakarta:
Yayasan Prapanca, 1959.
0 komentar:
Posting Komentar