BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Pada masa Rasulullah SAW. masih
hidup, istilah Aswaja sudah pernah ada tetapi tidak menunjuk pada kelompok
tertentu atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlussunah wal Jama’ah
adalah orang-orang Islam secara keseluruhan.
Ada sebuah hadits yang mungkin perlu dikutipkan telebih dahulu:
إن بني إسرائيل تفترق على ثنتين وسبعين ملة وستفترق أمتي
على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة، قالوا من هي يارسول الله: قال
ما انا عليه وأصحابي.
Artinya : Rasulullah SAW bersabda:
“ Sesungguhnya bani Israil akan terpecah menjadi 70 golongan dan ummatku
terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.
Para Shohabat bertanya : Siapa yang satu golongan itu? Rasulullah SAW. menjawab
: yaitu golongan dimana Aku dan Shahabatku berada. ([1])
Hadits inilah yang sering
digunakan oleh orang-orang NU sebagai salah satu dalil atau dasar tentang
Ahlussunah wal Jamaah.
Ahli sunnah wal jamaah
adalah suatu golongan yang menganut syariat islam yang berdasarkan pada
alqur`an dan al hadis dan beri`tikad apabila tidak ada dasar hukum pada alqur`an dan hadis
Inilah kemudian kita sampai pada
pengertian Aswaja. Pertama kalau kita melihat ijtihadnya para ulama-ulama
merasionalkan dan memecahkan masalah jika didalam alqur`an dan hadis tidak
menerangkanya. Definisi kedua adalah (melihat cara berpikir dari berbagai
kelompok aliran yang bertentangan); orang-orang yang memiliki metode berpikir
keagamaan yang mencakup aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi
menjaga keseimbangan dan toleransi. Ahlussunah wal Jama’ah ini tidak mengecam
Jabariyah, Qodariyah maupun Mu’tazilah akan tetapi berada di tengah-tengah
dengan mengembalikan pada ma anna alaihi wa ashabihi.Nah itulah latar belakang
sosial dan latar belakang politik munculnya paham Aswaja. Jadi tidak muncul
tiba-tiba tetapi karena ada sebab, ada ekstrim mutazilah yang serba akal, ada
ekstrim jabariyah yang serba taqdir, aswaja ini di tengah-tengah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Aswaja sebagai sebuah paham keagamaan (ajaran)
maupun sebagai aliran pemikiran (manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh dinamika sosial politik pada waktu itu, lebih khusus
sejak peristiwa Tahqim yang melibatkan Sahabat Ali dan sahabat Muawiyyah
sekitar akhir tahun 40 H.]
Ahli sunnah wal jamaah
pemikiranya menggunakan pemikiran al asyari dan hukum fiqihnyanya menggunakan
imam madzhab sehingga golongan aswaja inilah golongan yang sifatnya luas.
2.
Rumusan Masalah
2.1 Apakah
pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah?
2.2 Bagaimanakah
prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah?
2.3 Bagaimanakah sejarah perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah selalu dinamis dalam menjawab
perkembangan zaman?
BAB II
ISI
1.
Pembahasan
1.1.
Apakah pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah?
Aswaja
versi bahasa terdiri dari tiga kata, Ahlu, Al-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Kata Ahlu
diartikan sebagai keluarga, komunitas, atau pengikut. Kata Al-Sunnah
diartikan sebagai jalan atau karakter. Sedangkan kata Al-Jamaah
diartikan sebagai perkumpulan. Arti Sunnah secara istilah adalah segala
sesuatu yang [i]diajarkan
Rasulullah SAW., baik berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah
bermakna sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada masa
Rasulullah SAW. dan pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu
Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah
komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW.
dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal
lahiriyah, atau akhlak hati.[[2]] Jama’ah mengandung beberapa pengertian, yaitu: kaum ulama atau kelompok
intelektual; golongan yang terkumpul dalam suatu pemerintahan yang dipimpin
oleh seorang amir; golongan yang di dalamnya terkumpul orang-orang yang
memiliki integritas moral atau akhlak, ketaatan dan keimanan yang kuat;
golongan mayoritas kaum muslimin; dan sekelompok sahabat Nabi Muhammad SAW.[[3]]
Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah
golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang
diriwayatkan sahabat, tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh
Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.[[4]]
Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah
golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti
warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang
berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam
akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam
al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.[5]
Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah para sahabat, tabiin, tabiit
tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi
petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.[[6]]
Definisi di atas meneguhkan kekayaan intelektual dan
peradaban yang dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada
al-Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan
pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang salih yang sesuai
dengan ajaran-ajaran Nabi. Terpaku dengan al-Qur’an dan hadis dengan membiarkan
sejarah para sahabat dan orang-orang saleh adalah bentuk kesombongan, karena
merekalah generasi yang paling otentik dan orisinal yang lebih mengetahui
bagaimana cara memahami, mengamalkan dan menerjemahkan ajaran Rasul dalam
perilaku setiap hari, baik secara individu, sosial, maupun kenegaraan.
Berpegang kepada al-Qur’an dan hadis ansich, bisa mengakibatkan
hilangnya esensi (ruh) agama, karena akan terjebak pada aliran dhahiriyah
(tekstualisme) yang mudah menuduh bid’ah kepada komunitas yang dijamin masuk
surga, seperti khalifah empat.[[7]]
1.2.
Bagaimanakah prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah?
Dalam sejarah perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah selalu
dinamis dalam menjawab perkembangan zaman tetapi tetap memegang prinsip dalam
mengamalkan ajarannya. Diantara prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah di dalam sejarah perkembangannya di berbagai aspek kehidupan meliputi
Aqidah, pengambilan hukum (Syariah), tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik
dengan penjabaran sebagai berikut:
Aswaja
menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid, sebuah keyakinan
yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang
Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak
terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan
meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai
utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat
manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat,
serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam
doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya
bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu)
untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang
harus diikuti oleh setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah
keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat
dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul
jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh
amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik
akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
Hampir seluruh kalangan
Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:
a) Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam
pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab
fiqh.Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan.Al-Qur’an
merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
b)
As-Sunnah
As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak
dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in.
Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan
dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang
telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
c)
Ijma’
Menurut Abu
Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan
kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu
masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau
kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap
suatu hukum dari suatu kasus. Dalam
Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: Dan QS Al-Baqarah,
2: 143.
d)
Qiyas
Qiyas, sebagai
sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama.Qiyas
yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada
nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat
dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf
adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah. kaum sufi
adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang
terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah
pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari
berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya
sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.” kata Imam
Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari
keterikatan selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah
proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita di dalam
urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai
ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa
meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di
tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya
sebagai Khalifah harus diwujudkan.
Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud
namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah
adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun,
Umar Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara,
Abu Sa’id Al Kharraj sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan
al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai
pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat
dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan urusan duniawi.
Urusan
duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan),
kemudian berbuntut pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu
kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum,
persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus
ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi
secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan
urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di
dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk
mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki
sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah),
Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang
membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu
mengatur dirinya sendiri. Ahlussunnah
wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai
kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah,
negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan
menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak
memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar
teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu
memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin
negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah[8][9]:
Negara harus
mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan,
kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah (QS
Al-Syura, 42: 36-39)
Keadilan
adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini
tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu.salah satu ayat
dalam Al-Qur an terdapat pada QS An-Nisa, 4: 58
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi
warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya
karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam
Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima) yang identik
dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern bahkan
mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip ini menjadi
ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi
setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari. Lima pokok
atau prinsip tersebut yaitu:
1.
Hifzhu al-Nafs
(menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk
menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan
bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
2. Hifzhu
al-Din
(menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin
kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan
Kepercayaannya. Negara
tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada
warga negara.
3. Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap
kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga
negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya
hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
4. Hifzhual-Nasl; bahwa negara wajib memberikan
jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan
memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara
harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
5. Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri,
kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara
tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara
justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap
warga negara.
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara
satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada
pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain.
Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain.
Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan
bangsa yang lain. Hai ini termaktub dalan QS. Al-Hujuraat,
49: 13
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni
fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan
keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam
surat Al-Ma’idah; 5: 48
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah
sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang
sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk
mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege
(keistimewaan) khususnya di mata hukum.Negara justru harus mampu mewujudkan
kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar
oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin
Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah
wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati
perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu
di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk
menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu
memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
1.3.
Bagaimanakah sejarah perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah selalu dinamis dalam menjawab
perkembangan zaman?
Ada lima
istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits dalam menggambarkan
karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai landasan dalam
bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu Khaira Ummat
yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan karakteristik anggota
Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari konsep keagamaan
Nahdlatul ‘Ulama, antara lain :
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri
antara dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran
serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan
tidak condong ke kiri.I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali
pada yang benar dan yang harus dibela.
Tasamuih berarti
sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai sikap
pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan harga
diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun masalah
kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
Tawazun
berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau
kekurangan unsur lain.
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong
berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta
mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak,
merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Definisi Ahlussunnah wal Jama’ah yang
dirumuskan para ulama klassik memiliki potensi untuk didiskusikan ulang,
sehingga beberapa ulama berpengaruh di NU mencoba menafsirkan kembali doktrin
aswaja. Hal yang paling disoroti yaitu tentang pelabelan aswaja sebagai
madzhab, menurut Said Aqil, jika aswaja NU difahami sebagai sebuah madzhab,
maka konsep tersebut akan mempersempit makna ke arah institusional. Ahlussunnah
wal Jama’ah dalam menjawab perkembangan zaman harus dimaknai sebagai manhaj
al fikr sehingga bersifat dinamis sekaligus sangat terbuka bagi
pembaruan-pembaruan namun tetap selektif dan protektif dalam merespon
perkembangan tersebut.
Para Kyai yang mencoba menafsirkan kembali aswaja
mempunyai tujuan yang sama, yaitu mensejahterakan umat dan membawa mereka ke
arah kemajuan. Para
kyai ini mencoba memformulasikan pemikiran pemikiran mereka dengan realitas,
sehingga apa yang mereka hasilkan bersifat visioner, kontemporer dan sangat
memihak kepada masyarakt kecil.
Usaha
Reinterpretasi ini lebih mengarah kepada penafsiran ulang dan redefinisi
terhadap konsep aswaja yang bertujuan untuk kemaslahatan umat.
[1]
(HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah)
[2]
FKI LIM, Gerbang Pesantren, Pengantar
Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah Kediri : Litbang Lembaga Ittihadul
Muballigin PP. Lirboyo, 2010, cet. 2, hlm. 3
[3]
Badrun Alarna, NU, Kritisisme dan
Pergeseran Makna Aswaja, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2000, cet. 1,
hlm. 33
[4]
Abi al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari, al-Ibanah
An Ushul al-Diyanah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t., hlm. 14
[5]
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh
Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : Kompas, 2010,
cet. 1, hlm. 107
[6]
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi
Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta : Rajawali Press,
2010, cet. 1, hlm. 190
[7]
Jamal Makmur Asmani, Manhaj Pemikiran Aswaja, dalam
http://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/manhaj-pemikiran-aswaja/ di akses Selasa, 17 Nopember 2015
0 komentar:
Posting Komentar