Sabtu, 02 April 2016

ASWAJA

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Pada masa Rasulullah SAW. masih hidup, istilah Aswaja sudah pernah ada tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlussunah wal Jama’ah adalah orang-orang Islam secara keseluruhan.
Ada sebuah hadits yang mungkin perlu dikutipkan telebih dahulu:
إن بني إسرائيل تفترق على ثنتين وسبعين ملة وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة، قالوا من هي يارسول الله: قال ما انا عليه وأصحابي.
Artinya : Rasulullah SAW bersabda: “ Sesungguhnya bani Israil akan terpecah menjadi 70 golongan dan ummatku terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para Shohabat bertanya : Siapa yang satu golongan itu? Rasulullah SAW. menjawab : yaitu golongan dimana Aku dan Shahabatku berada. ([1])
Hadits inilah yang sering digunakan oleh orang-orang NU sebagai salah satu dalil atau dasar tentang Ahlussunah wal Jamaah.
            Ahli sunnah wal jamaah adalah suatu golongan yang menganut syariat islam yang berdasarkan pada alqur`an dan al hadis dan beri`tikad apabila tidak ada dasar hukum pada  alqur`an dan hadis 
Inilah kemudian kita sampai pada pengertian Aswaja. Pertama kalau kita melihat ijtihadnya para ulama-ulama merasionalkan dan memecahkan masalah jika didalam alqur`an dan hadis tidak menerangkanya. Definisi kedua adalah (melihat cara berpikir dari berbagai kelompok aliran yang bertentangan); orang-orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi menjaga keseimbangan dan toleransi. Ahlussunah wal Jama’ah ini tidak mengecam Jabariyah, Qodariyah maupun Mu’tazilah akan tetapi berada di tengah-tengah dengan mengembalikan pada ma anna alaihi wa ashabihi.Nah itulah latar belakang sosial dan latar belakang politik munculnya paham Aswaja. Jadi tidak muncul tiba-tiba tetapi karena ada sebab, ada ekstrim mutazilah yang serba akal, ada ekstrim jabariyah yang serba taqdir, aswaja ini di tengah-tengah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Aswaja sebagai sebuah paham keagamaan (ajaran) maupun sebagai aliran pemikiran (manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dinamika sosial politik pada waktu itu, lebih khusus sejak peristiwa Tahqim yang melibatkan Sahabat Ali dan sahabat Muawiyyah sekitar akhir tahun 40 H.]
Ahli sunnah wal jamaah pemikiranya menggunakan pemikiran al asyari dan hukum fiqihnyanya menggunakan imam madzhab sehingga golongan aswaja inilah golongan yang sifatnya luas.

2. Rumusan Masalah

2.1       Apakah pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah?
2.2       Bagaimanakah prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah?
2.3       Bagaimanakah sejarah perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah selalu dinamis dalam menjawab perkembangan zaman?












BAB II
ISI

1.      Pembahasan

1.1.             Apakah pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah?         
Aswaja versi bahasa terdiri dari tiga kata, Ahlu, Al-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Kata Ahlu diartikan sebagai keluarga, komunitas, atau pengikut. Kata Al-Sunnah diartikan sebagai jalan atau karakter. Sedangkan kata Al-Jamaah diartikan sebagai perkumpulan. Arti Sunnah secara istilah adalah segala sesuatu yang [i]diajarkan Rasulullah SAW., baik berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah bermakna sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah SAW. dan pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW. dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak hati.[[2]] Jama’ah mengandung beberapa pengertian, yaitu: kaum ulama atau kelompok intelektual; golongan yang terkumpul dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang amir; golongan yang di dalamnya terkumpul orang-orang yang memiliki integritas moral atau akhlak, ketaatan dan keimanan yang kuat; golongan mayoritas kaum muslimin; dan sekelompok sahabat Nabi Muhammad SAW.[[3]]

Menurut Imam Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada al-Qur’an, hadis, dan apa yang diriwayatkan sahabat, tabi’in, imam-imam hadis, dan apa yang disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal.[[4]]

Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlusssunnah Wal Jamaah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.[5] Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah para sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.[[6]]

Definisi di atas meneguhkan kekayaan intelektual dan peradaban yang dimiliki Ahlusssunnah Wal Jamaah, karena tidak hanya bergantung kepada al-Qur’an dan hadits, tapi juga mengapresiasi dan mengakomodasi warisan pemikiran dan peradaban dari para sahabat dan orang-orang salih yang sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi. Terpaku dengan al-Qur’an dan hadis dengan membiarkan sejarah para sahabat dan orang-orang saleh adalah bentuk kesombongan, karena merekalah generasi yang paling otentik dan orisinal yang lebih mengetahui bagaimana cara memahami, mengamalkan dan menerjemahkan ajaran Rasul dalam perilaku setiap hari, baik secara individu, sosial, maupun kenegaraan. Berpegang kepada al-Qur’an dan hadis ansich, bisa mengakibatkan hilangnya esensi (ruh) agama, karena akan terjebak pada aliran dhahiriyah (tekstualisme) yang mudah menuduh bid’ah kepada komunitas yang dijamin masuk surga, seperti khalifah empat.[[7]]

1.2.             Bagaimanakah prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah?
Dalam sejarah perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah selalu dinamis dalam menjawab perkembangan zaman tetapi tetap memegang prinsip dalam mengamalkan ajarannya. Diantara prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah di dalam sejarah perkembangannya di berbagai aspek kehidupan meliputi Aqidah, pengambilan hukum (Syariah), tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik dengan penjabaran sebagai berikut:

                  1.     Bidang Aqidah
Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid, sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:
a)        Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh.Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan.Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
b)        As-Sunnah
As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
c)        Ijma’
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: Dan QS Al-Baqarah, 2:  143.
d)       Qiyas
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama.Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.

                  3.     Bidang Tasawuf
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah. kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah harus diwujudkan.           
Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara,  Abu Sa’id Al Kharraj sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik

                  4.     Bidang Sosial Politik
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah), Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah[8][9]:

Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah (QS Al-Syura, 42: 36-39)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu.salah satu ayat dalam Al-Qur an terdapat pada QS An-Nisa, 4: 58
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima) yang identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip ini menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari. Lima pokok atau prinsip tersebut yaitu:
                                              1.     Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
                                              2.     Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
                                              3.     Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
                                              4.     Hifzhual-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
                                              5.     Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.

Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Hai ini termaktub dalan QS. Al-Hujuraat, 49: 13

Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah; 5: 48
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum.Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.

1.3.            Bagaimanakah sejarah perkembangannya Ahlussunnah Wal Jamaah selalu dinamis dalam menjawab perkembangan zaman?
Ada lima istilah utama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadits dalam menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah sebagai landasan dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep Mabadiu Khaira Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan karakteristik anggota Nahdlatul ‘Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari konsep keagamaan Nahdlatul ‘Ulama, antara lain :


                                    1.       At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri.I’tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan yang harus dibela.
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain.
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.





BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan

Definisi Ahlussunnah wal Jama’ah yang dirumuskan para ulama klassik memiliki potensi untuk didiskusikan ulang, sehingga beberapa ulama berpengaruh di NU mencoba menafsirkan kembali doktrin aswaja. Hal yang paling disoroti yaitu tentang pelabelan aswaja sebagai madzhab, menurut Said Aqil, jika aswaja NU difahami sebagai sebuah madzhab, maka konsep tersebut akan mempersempit makna ke arah institusional. Ahlussunnah wal Jama’ah dalam menjawab perkembangan zaman harus dimaknai sebagai manhaj al fikr sehingga bersifat dinamis sekaligus sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan namun tetap selektif dan protektif dalam merespon perkembangan tersebut.

Para Kyai yang mencoba menafsirkan kembali aswaja mempunyai tujuan yang sama, yaitu mensejahterakan umat dan membawa mereka ke arah kemajuan. Para kyai ini mencoba memformulasikan pemikiran pemikiran mereka dengan realitas, sehingga apa yang mereka hasilkan bersifat visioner, kontemporer dan sangat memihak kepada masyarakt kecil.

Usaha Reinterpretasi ini lebih mengarah kepada penafsiran ulang dan redefinisi terhadap konsep aswaja yang bertujuan untuk kemaslahatan umat.






[1] (HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah)
[2] FKI LIM, Gerbang Pesantren, Pengantar Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah Kediri : Litbang Lembaga Ittihadul Muballigin PP. Lirboyo, 2010, cet. 2, hlm. 3
[3] Badrun Alarna, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Yogyakarta  : Tiara Wacana, 2000, cet. 1, hlm.  33
[4] Abi al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari, al-Ibanah An Ushul al-Diyanah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t., hlm. 14
[5] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, Jakarta : Kompas, 2010, cet. 1, hlm. 107
[6] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta : Rajawali Press, 2010, cet. 1, hlm. 190
[7] Jamal Makmur Asmani, Manhaj Pemikiran Aswaja, dalam

AHLUSSUNNAH WAL  JAMA’AH



[i]AHLUSSUNNAH WAL  JAMA’AH

0 komentar:

Posting Komentar