Sabtu, 02 April 2016

I. ULUMUL QUR'AN (NASIKH DAN MANSUKH)

BAB II : PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nasikh dan Mansukh
a.       Pengertian Nasikh
Nasikh menurut bahasa ialah hukum syara’ yang menghapuskan, menghilangkan, memindahkan, mengutip, mengubah atau mengganti. Sedangkan pengertian Nasikh menurut istilah ada dua macam, yaitu:
1.      Nasikh ialah hukum syara’ yang menghapus atau mengubah dalil syara’ yang terdahulu dan menggantikannya dengan hukum baru setelahnya. Dalam contoh penghapusan kewajiban bersedekah kalau akan menghadap Rosulullah SAW. Nasikhnya ialah Q.S. Al-Mujadilah ayat 13 yang mengubah kewajiban dari Q.S. Al-Mujadilah ayat 12 itu diganti dengan bebas dari kewajiban bersedekah tersebut.
2.      Nasikh adalah Allah SWT. Artinya ialah yang menghapus dan menggantikan hukum-hukum syara’ yang pada hakekatnya ialah Allah SWT. Tidak ada yang lain. Sebab, hukum syara’ itu hanya dari Allah dan juga tidak di ubah atau diganti oleh lainnya.
b.      Pengertian Mansukh
Mansukh menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus, dihilangkan, dipindah, disalin atau dinukil. Sedangkan menurut istilah para Ulama’’ ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang sama, yang belum diubah dengan di batalkan dan diganti dengan hukum syara’ yang baru yang datang kemudian.
Tegasnya, Mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghedaki perubahan dan penggantian hukum tadi.

B.     Pendapat para Ulama’’ mengenai Nasikh dan Mansukh
Pendapat tentang Nasikh dan ketetapannya :
1.      Oranng Yahudi
Tidak mengakui adanya Nasikh karena mengandung Al-Bada’ (nampak jelas setelah tidak jelas). Maksudnya Nasikh adakalanya tanpa hikmah dan mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena suatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak, ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan dan ini mustahil.
2.      Orang Syi’ah Rafidah
Sangat berlebihan dalam menetapkan Nasikh dan meluaskannya untuk mendukung mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan yang mereka nisbahkan kepada Allah secara dusta dan palsu. “Allah mengahapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki). Dengan pengertian Allah siap untuk menhapuskan dan menetapkan.
3.      Abu Muslim Al-Asfahani
Secara logika Nasikh dapat terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’.
Q.S. Fussilat ayat 36, dengan pengertian hukum Qur’an tidak akan dibatalkan untuk selamanya. Dan mengenai ayat tentang Nasikh semua di Takhsis-kan. Pendapat ini tidak diterima karena maknanya Qur’an tidak didahului oleh kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
4.      Jumhur Ulama’
Nasikh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil :
a.       Perbuatan Allah tidak tergantung pada alasan dan tujuan.
b.      Kitab dan sunnah menunjukkan kebolehan Nasikh dan terjadinya.
a)      Firman Allah Q.S. An-Nahl ayat 101 yang artinya “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat ditempat ayat yang lain.:”
b)      Hadits shohih

C.     Macam-macam Nasikh dan Mansukh
Adapun macam-macam Nasikh dan Mansukh, ialah :
1.      Nasikh Hadits dengan Hadits
Ulama’ Usul al-Fiqh mengatakan Hadits boleh di Nasikhkan dengan Hadits, yaitu : mutawatir dengan mutawatir, mutawatir dengan masyhur, mutawatir dengan ahad, ahad dengan  mutawatir, ahad  dengan ahad
Contohnya adalah Hadits larangan menziarahi kubur dan menyimpan daging kurban. Larangan ini pada mulanya tsabit dengan Hadits dan Hadits sendiri yang membenarkannya. Oleh karena itu, Nasikh ini dikatakan Nasikh Hadits dengan Hadits.
2.      Nasikh Hadits dengan Al-qur’an
Kebanyakan Ulama’ termasuk Ulama’ Zahiriyyah mengakui adanya Nasikh Hadits dengan Al-qur’an. Walau bagaimanapun, Imam Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur Ulama’ herhujah bahwa Nasikh seperti ini memang berlaku dengan mengemukakan contoh perpindahan Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Beribadah dengan menghadap kearah Baitul Maqdis sememangnya tsabit, tetapi dengan Hadits bukan Al-qur’an.
Al-Hazimi mengemukakan satu riwayat dari al-Barra’ bin Azib. Dari al-Barra’ bin Azib bahwa perkara yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk nenenknya dari kalangan Anshor dan Baginda beribadah menghadap kearah Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan.
Hadits berikut telah di Nasikhkan oleh ayat berikut yang artinya: “Sesungguhnya kami sering melihat mukamu mengadah kelangit, maka sesungguhnya kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu kearahnya.” (Q.S. Al-Baqarah: 144)
3.      Nasikh Al-qur’an dengan Hadits
Jumhur Ulama’ termasuk Zahiriyah mengharuskan Nasikh Hadits dengan Al-qur’an, sementara Imam Syafi’i mencegahnya. Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya mengharuskan Nasikh Al-qur’an dengan Hadits mutawatir dan masyur karena hanya tersebar luas dikalangan manusia.
“Diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan kaum kerabat secara baik. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (Q.S. Al-Baqarah: 180)
Ayat tersebut di Mansukhkan dengan hadits dari Abu Umamah, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya Allah telah menentukan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan hak masing-masing. Dengan itu, maka tidak ada wasiat uantuk waris (orang yang berhak menerima pusaka.)”
4.      Nasikh Al-qur’an dengan Al-qur’an
Ulama sepakat mengatakan bahwa ini diperbolehkan. Contohnya menurut ayat masa iddah bagi perempuan itu lamanya satu tahun. Ayat iddah ini terNasikhkan oleh ayat lain. Masa iddah itu cukup empat bulan sepuluh hari.

D.    Pengertian Takhsis
Takhsis (التخصيص) adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz ‘amm dan lafadz ‘amm itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada. Yang  tidak dikeluarkan dari ketentuan lafadz atau dalil ‘amm.
Ketika membicarakan lafadz ‘am dan lafadz khas, tidak bisa terlepas dari takhsis. Menurut ulama ushul fiqh, takhsis adalah penjelasan sebagian lafadz ‘amm bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘amm dengan dalil.
Ulama tidak selamanya menjadikan khabar ahad dapat men-takhsis lafadz ’amm Al-Qur’an walaupun memandang lafadz ‘amm Al-Qur’an adalah zanniy. Ia kadang-kadang berpegang pada lafadz ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang mentakhsis lafadz ‘amm Al-Qur’an dengan khabar ahad.
Aliran mutakalimin (mayoritas ulama) memahami bahwa takhsis al ‘amm adalah membatasi cakupan al ‘amm pada sebagian satuan-satuanya, baik dengan dalil yang berdiri sendiri maupun dalil yang tak berdiri, baik dengan dalil yang beriringan dengannya maupun dalil yang tidak beriringan dengannya.
Aliran Hanafiyah fuquha’ memandang bahwa takhsis al ‘amm adalah membatasi cakupan al ‘amm pada sebagian satuan-satuanya hanya dengan dalil yang berdiri sendiri, yang beriringan dengannya. Sekiranya takhsis terjadi dengan dalil yang tidak beriringan dengannya, dengan dalil kemudian datangnya maka hal iti dinamakan Nasikh.
 Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dalil yang qat’iy al tsubut ialah Al Qur’an dan haditst mutawatir. Dalam hal ini, para ulama Hanafiyah memasukan pula hadits masyur karena mereka mengapresiasinya dengan nilai mutawatir.
Penjelasan dari haditst mutawatir dan hadits masyur sebagai berikut :
1.      Haditst mutawatir adalah hadits yang diriwiyatkan oleh sekelompok orang yang bersumber dari sekolompok orang hingga lapis terakhir generasi periwayatnya, yang menurut keyakinan tidak mungkin mengandung kedustaan kolektif dari mereka.
2.      Haditst masyhur adalah hadits yang ada pada lapis pertama generasi perawi diriwayatkan orang, kemudian pada lapis kedua dan seterusnya dari generasi perawi diriwiyatkan oleh sejumlah orang yang menurut keyakinan tidak mungkin mengandung kedustaan kolektif dari mereka.

E.     Urhensi mempelajari Nasikh dan Mansukh
Salah satu cabang pengkajian ilmu hadits yang terpenting utamanya adalah yang berkenaan dengan hadits hukum yaitu Ilmu Nasikh dan Mansukh. Kepentingannnya tidak dapat dihilangkan karena ia merupakan salah satu syarat ijtihad. Secara azas seorang mujtahid harus mengetahui latar belakang dalil secara hukum khususnya hadits yang akan dijadikan asas hukum.
Atas dasar itulah al-Hazimy berkata : ”Ilmu ini termasuk sarana penyempurna ijtihad. Sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun utama didalam melakukan ijtihad. Itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan menukil dari dalil-dalil naqliitu haruslah mengenal pula dalil yang sudah diNasikh atau dalil yang meNasikhnya. Memahami kitab hadits menurut arti literal adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil nash yang tidak jelas penunjukannya. Diantara jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah mengetahui mana dalil yang terdahulu dan manapula yang terkemudian dan lain sebaginya dari segi makna”.
Para sahabat memberi perhatian yang tinggi, hal ini diikuti generasi sesudahnya, seperti dirwiyatkan dari Ali RA, dia pernah berdialog dengan seorang hakim, kemudian Ali bertanya “Apakah engkau mengetahui Nasikh dan Mansukh”, sang hakim menjawab “Aku tidak tahu”, kemudian Ali menegurnya dengan berkata “Rusaklah engkau dan engkau telah menebar kerusakan” Terlihat disini betapa Ali memperhatikan tentang urgensi Nasikh dan Mansukh,beliau menegur seseorang yang mempunyai posisi strategis dalam menentukan kebijakan hukum namun tidak memiliki sejarah tentang proses produksi hukum dalam hal ini Nasikh dan Mansukh.
Seorang ilmuwan hadits yang mengetahui Nasikh dan masukh mempunyai keunggulan, Nasikhdan Mansukh adalah ilmu yang rumit dan sulit sebagaimana ungkapan al-Zuhri: “Yang paling memberatkan dan menguras tenaga bagi ahli fikih adalah membedakan hadits yang telah diMansukh dari dengan hadits yang manasihknya“.
Imam Syafi’i seorang yang terkenal dengan gelar penolong sunnah mempunyai peran yang besar dalam bidang ini, imam Ahmad bin Hambal berkata kepada Ibnu Warah ketika dia kembali dari Mesir, “Apakah engkau telah menyalin kitab-kitab imam Syafi’i”, Ibnu Warah dengan apologismengatakan dia tidak melakukan hal itu, kemudian Ahmad bin Hambal berkata “Engkau telah menyia-nyiakan kesempatan, kita tidak mengetahui mujmal dan mufashol hadits, Nasikh danMansukh hadits kecuali setelah mengikuti majlis Asy-Syafi’i.
Pengetahuan tentang Nasikh dan Mansukh mempunyai fungsi dan peranan yang besar bagi para ahli ilmu agar pengetahuan tentang suatu hukum tidak kacau dan kabur. Karena itulah kita temukan perhatian mereka kepada hadits sangat besar, imam Syafi’i, imam Hambali dan para imam yang lain begitu menganggap penting ilmu ini, karena dia termasuk ilmu yang dengannya pemahaman hadits akan menjadi benar dan tidak sempit.
Karena urgensinya ilmu ini, maka sahabat, tabi’in dan ulama sesudah mereka memberikan perhatian yang sangat serius terhadapnya, imam-imam juga menjelaskan hal ini kepada murid-murid mereka, menganjurkan mempelajarinya, menekuninya, menemukan hal-hal pelik berkenaan dengannya, mensistematisasikannya dan menyusun karya dalam bidang ini.
Sedangkan hikmah mempelajari Nasikh dan Mansukh yakni :
1.             Memelihara kepentingan hamba.
2.             Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3.             Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4.             Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika hal itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.




















BAB III : PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sama seperti pada mata kuliah ulumul Qur’an, Nasikh dan Mansukh pada hadits memberikan kepastian hukum pada sesuatu yang dicari hukumnya, dengan kata lain mengganti hukum yang sudah ada, dengan hukum baru yang lebih meyakinkan. Misalnya seperti contoh yang diuraikan diatas.

B.     Saran

Dengan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang ilmu Nasikh dan masukh pada hadits.

0 komentar:

Posting Komentar