BAB II : PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasikh dan Mansukh
a.
Pengertian Nasikh
Nasikh menurut bahasa ialah hukum syara’ yang menghapuskan, menghilangkan,
memindahkan, mengutip, mengubah atau mengganti. Sedangkan pengertian Nasikh
menurut istilah ada dua macam, yaitu:
1. Nasikh ialah hukum
syara’ yang menghapus atau mengubah dalil syara’ yang terdahulu dan
menggantikannya dengan hukum baru setelahnya. Dalam contoh penghapusan
kewajiban bersedekah kalau akan menghadap Rosulullah SAW. Nasikhnya ialah Q.S.
Al-Mujadilah ayat 13 yang mengubah kewajiban dari Q.S. Al-Mujadilah ayat 12 itu
diganti dengan bebas dari kewajiban bersedekah tersebut.
2. Nasikh adalah Allah
SWT. Artinya ialah yang menghapus dan menggantikan hukum-hukum syara’ yang pada
hakekatnya ialah Allah SWT. Tidak ada yang lain. Sebab, hukum syara’ itu hanya
dari Allah dan juga tidak di ubah atau diganti oleh lainnya.
b.
Pengertian Mansukh
Mansukh menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus, dihilangkan, dipindah,
disalin atau dinukil. Sedangkan menurut istilah para Ulama’’ ialah hukum syara’
yang diambil dari dalil syara’ yang sama, yang belum diubah dengan di batalkan
dan diganti dengan hukum syara’ yang baru yang datang kemudian.
Tegasnya, Mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang
telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan
kondisi yang menghedaki perubahan dan penggantian hukum tadi.
B.
Pendapat para Ulama’’ mengenai Nasikh dan Mansukh
Pendapat tentang Nasikh dan
ketetapannya :
1.
Oranng Yahudi
Tidak mengakui adanya Nasikh
karena mengandung Al-Bada’ (nampak jelas setelah tidak jelas). Maksudnya Nasikh
adakalanya tanpa hikmah dan mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena suatu
hikmah yang sebelumnya tidak nampak, ini berarti terdapat suatu kejelasan yang
didahului oleh ketidakjelasan dan ini mustahil.
2.
Orang Syi’ah Rafidah
Sangat
berlebihan dalam menetapkan Nasikh dan meluaskannya
untuk mendukung mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan yang mereka
nisbahkan kepada Allah secara dusta dan palsu. “Allah mengahapuskan apa yang ia
kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki). Dengan pengertian Allah siap
untuk menhapuskan dan menetapkan.
3.
Abu Muslim Al-Asfahani
Secara
logika Nasikh dapat terjadi,
tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’.
Q.S. Fussilat ayat 36,
dengan pengertian hukum Qur’an tidak akan dibatalkan untuk selamanya. Dan
mengenai ayat tentang Nasikh semua di Takhsis-kan. Pendapat ini tidak diterima
karena maknanya Qur’an tidak didahului oleh kitab yang membatalkannya dan tidak
datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
4. Jumhur Ulama’
Nasikh adalah suatu hal
yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’
berdasarkan dalil :
a. Perbuatan Allah tidak
tergantung pada alasan dan tujuan.
b. Kitab dan sunnah
menunjukkan kebolehan Nasikh dan terjadinya.
a) Firman Allah Q.S.
An-Nahl ayat 101 yang artinya “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat ditempat
ayat yang lain.:”
b) Hadits shohih
C. Macam-macam Nasikh dan Mansukh
Adapun macam-macam Nasikh
dan Mansukh, ialah :
1. Nasikh Hadits dengan Hadits
Ulama’ Usul al-Fiqh
mengatakan Hadits boleh di Nasikhkan dengan Hadits, yaitu : mutawatir dengan
mutawatir, mutawatir dengan masyhur, mutawatir dengan ahad,
ahad dengan mutawatir, ahad dengan ahad.
Contohnya adalah Hadits
larangan menziarahi kubur dan menyimpan daging kurban. Larangan ini pada
mulanya tsabit dengan Hadits dan Hadits sendiri yang membenarkannya.
Oleh karena itu, Nasikh ini dikatakan Nasikh Hadits dengan Hadits.
2. Nasikh Hadits dengan
Al-qur’an
Kebanyakan Ulama’
termasuk Ulama’ Zahiriyyah mengakui adanya Nasikh Hadits dengan Al-qur’an.
Walau bagaimanapun, Imam Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur Ulama’ herhujah
bahwa Nasikh seperti ini memang berlaku dengan mengemukakan contoh perpindahan
Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Beribadah dengan menghadap kearah Baitul
Maqdis sememangnya tsabit, tetapi dengan Hadits bukan Al-qur’an.
Al-Hazimi mengemukakan
satu riwayat dari al-Barra’ bin Azib. Dari al-Barra’ bin Azib bahwa perkara
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. apabila sampai di Madinah ialah menemui
datuk nenenknya dari kalangan Anshor dan Baginda beribadah menghadap kearah
Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan.
Hadits berikut telah di
Nasikhkan oleh ayat berikut yang artinya: “Sesungguhnya kami sering melihat
mukamu mengadah kelangit, maka sesungguhnya kami akan memalingkan kamu ke
Kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram. Dan dimana
saja kamu berada, palingkanlah mukamu kearahnya.” (Q.S. Al-Baqarah: 144)
3. Nasikh Al-qur’an dengan
Hadits
Jumhur Ulama’ termasuk
Zahiriyah mengharuskan Nasikh Hadits dengan Al-qur’an, sementara Imam Syafi’i
mencegahnya. Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya mengharuskan Nasikh
Al-qur’an dengan Hadits mutawatir dan masyur karena hanya
tersebar luas dikalangan manusia.
“Diwajibkan atas kamu
apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan kaum kerabat secara baik. Ini
adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (Q.S. Al-Baqarah: 180)
Ayat tersebut di Mansukhkan
dengan hadits dari Abu Umamah, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW.
bersabda: Sesungguhnya Allah telah menentukan kepada setiap orang yang
mempunyai hak akan hak masing-masing. Dengan itu, maka tidak ada wasiat uantuk
waris (orang yang berhak menerima pusaka.)”
4.
Nasikh Al-qur’an dengan Al-qur’an
Ulama sepakat mengatakan bahwa ini diperbolehkan. Contohnya menurut ayat
masa iddah bagi perempuan itu lamanya satu tahun. Ayat iddah ini terNasikhkan
oleh ayat lain. Masa iddah itu cukup empat bulan sepuluh hari.
D.
Pengertian Takhsis
Takhsis (التخصيص) adalah mengeluarkan
sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz ‘amm dan lafadz
‘amm itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada. Yang tidak
dikeluarkan dari ketentuan lafadz atau dalil ‘amm.
Ketika membicarakan
lafadz ‘am dan lafadz khas, tidak bisa terlepas dari takhsis. Menurut ulama
ushul fiqh, takhsis adalah penjelasan sebagian lafadz ‘amm bukan
seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang
dicakup oleh lafadz ‘amm dengan dalil.
Ulama tidak selamanya menjadikan khabar ahad dapat men-takhsis lafadz ’amm Al-Qur’an walaupun memandang lafadz ‘amm Al-Qur’an adalah zanniy. Ia kadang-kadang berpegang pada lafadz ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang mentakhsis lafadz ‘amm Al-Qur’an dengan khabar ahad.
Ulama tidak selamanya menjadikan khabar ahad dapat men-takhsis lafadz ’amm Al-Qur’an walaupun memandang lafadz ‘amm Al-Qur’an adalah zanniy. Ia kadang-kadang berpegang pada lafadz ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang mentakhsis lafadz ‘amm Al-Qur’an dengan khabar ahad.
Aliran mutakalimin (mayoritas ulama) memahami bahwa takhsis al ‘amm adalah membatasi cakupan al ‘amm pada
sebagian satuan-satuanya, baik dengan dalil yang berdiri sendiri maupun dalil
yang tak berdiri, baik dengan dalil yang beriringan dengannya maupun dalil yang
tidak beriringan dengannya.
Aliran Hanafiyah fuquha’ memandang bahwa takhsis al ‘amm adalah membatasi cakupan al ‘amm pada
sebagian satuan-satuanya hanya dengan dalil yang berdiri sendiri, yang
beriringan dengannya. Sekiranya takhsis terjadi dengan dalil yang tidak
beriringan dengannya, dengan dalil kemudian datangnya maka hal iti dinamakan Nasikh.
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dalil yang qat’iy al tsubut ialah
Al Qur’an dan haditst mutawatir. Dalam hal ini, para ulama Hanafiyah memasukan
pula hadits masyur karena mereka mengapresiasinya dengan nilai mutawatir.
Penjelasan dari haditst mutawatir dan hadits masyur sebagai berikut :
1. Haditst mutawatir adalah hadits
yang diriwiyatkan oleh sekelompok orang yang bersumber dari sekolompok orang
hingga lapis terakhir generasi periwayatnya, yang menurut keyakinan tidak
mungkin mengandung kedustaan kolektif dari mereka.
2. Haditst masyhur adalah hadits
yang ada pada lapis pertama generasi perawi diriwayatkan orang, kemudian pada
lapis kedua dan seterusnya dari generasi perawi diriwiyatkan oleh sejumlah
orang yang menurut keyakinan tidak mungkin mengandung kedustaan kolektif dari
mereka.
E.
Urhensi mempelajari Nasikh dan Mansukh
Salah satu cabang
pengkajian ilmu hadits yang terpenting utamanya adalah yang berkenaan dengan hadits
hukum yaitu Ilmu Nasikh dan Mansukh. Kepentingannnya tidak dapat dihilangkan
karena ia merupakan salah satu syarat ijtihad. Secara azas
seorang mujtahid harus mengetahui latar belakang dalil secara
hukum khususnya hadits yang akan dijadikan asas hukum.
Atas dasar itulah
al-Hazimy berkata : ”Ilmu ini termasuk sarana penyempurna ijtihad. Sebab
sebagaimana diketahui bahwa rukun utama didalam melakukan ijtihad. Itu
ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash)
dan menukil dari dalil-dalil naqliitu haruslah mengenal pula dalil
yang sudah diNasikh atau dalil yang meNasikhnya. Memahami
kitab hadits menurut arti literal adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan
waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah mengistinbathkan hukum
dari dalil-dalil nash yang tidak jelas penunjukannya. Diantara
jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti
yang tidak tersurat itu ialah mengetahui mana dalil yang terdahulu dan manapula
yang terkemudian dan lain sebaginya dari segi makna”.
Para sahabat memberi
perhatian yang tinggi, hal ini diikuti generasi sesudahnya, seperti dirwiyatkan
dari Ali RA, dia pernah berdialog dengan seorang hakim, kemudian Ali bertanya
“Apakah engkau mengetahui Nasikh dan Mansukh”,
sang hakim menjawab “Aku tidak tahu”, kemudian Ali menegurnya dengan berkata
“Rusaklah engkau dan engkau telah menebar kerusakan” Terlihat disini
betapa Ali memperhatikan tentang urgensi Nasikh dan Mansukh,beliau
menegur seseorang yang mempunyai posisi strategis dalam menentukan kebijakan
hukum namun tidak memiliki sejarah tentang proses produksi hukum dalam hal
ini Nasikh dan Mansukh.
Seorang ilmuwan hadits
yang mengetahui Nasikh dan masukh mempunyai
keunggulan, Nasikhdan Mansukh adalah ilmu yang
rumit dan sulit sebagaimana ungkapan al-Zuhri: “Yang paling memberatkan dan
menguras tenaga bagi ahli fikih adalah membedakan hadits yang telah diMansukh
dari dengan hadits yang manasihknya“.
Imam Syafi’i seorang
yang terkenal dengan gelar penolong sunnah mempunyai peran yang besar dalam
bidang ini, imam Ahmad bin Hambal berkata kepada Ibnu Warah ketika dia kembali
dari Mesir, “Apakah engkau telah menyalin kitab-kitab imam Syafi’i”, Ibnu Warah
dengan apologismengatakan dia tidak melakukan hal itu, kemudian
Ahmad bin Hambal berkata “Engkau telah menyia-nyiakan kesempatan, kita tidak
mengetahui mujmal dan mufashol hadits, Nasikh danMansukh hadits
kecuali setelah mengikuti majlis Asy-Syafi’i.
Pengetahuan tentang Nasikh dan Mansukh mempunyai
fungsi dan peranan yang besar bagi para ahli ilmu agar pengetahuan tentang
suatu hukum tidak kacau dan kabur. Karena itulah kita temukan perhatian mereka
kepada hadits sangat besar, imam Syafi’i, imam Hambali dan para imam yang lain
begitu menganggap penting ilmu ini, karena dia termasuk ilmu yang dengannya
pemahaman hadits akan menjadi benar dan tidak sempit.
Karena urgensinya ilmu
ini, maka sahabat, tabi’in dan ulama sesudah mereka memberikan perhatian yang
sangat serius terhadapnya, imam-imam juga menjelaskan hal ini kepada
murid-murid mereka, menganjurkan mempelajarinya, menekuninya, menemukan hal-hal
pelik berkenaan dengannya, mensistematisasikannya dan menyusun karya dalam
bidang ini.
Sedangkan hikmah
mempelajari Nasikh dan Mansukh yakni :
1.
Memelihara kepentingan hamba.
2.
Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3.
Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya
atau tidak.
4.
Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika hal itu beralih ke
hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika
beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
BAB III :
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sama seperti pada mata kuliah ulumul Qur’an, Nasikh dan Mansukh pada
hadits memberikan kepastian hukum pada sesuatu yang dicari hukumnya, dengan kata
lain mengganti hukum yang sudah ada, dengan hukum baru yang lebih meyakinkan.
Misalnya seperti contoh yang diuraikan diatas.
B.
Saran
Dengan
makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang ilmu Nasikh dan masukh pada
hadits.
0 komentar:
Posting Komentar