BAB II
PEMBAHASAN
OTORITAS HADITS
SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
A. DALIL KEHUJJAHANNYA
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber
ajaran Islam. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam baik berupa perintah
maupun larangan, saran halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an. Hal ini
karena hadits merupakan mubayyin (penjelas) terhadap Al-Qur’an, karena
itu siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan
menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa Al-Qur’an. Karena
Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar
syariat.
Dengan demikian, antara hadits dengan Al-Qur’an memiliki kaitan sangat erat
untuk memahami dan mengamalkannya, tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan
sendiri-sendiri.
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits
sebagai sumber ajaran Islam, dapat dilihat dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadits)
dan aqli (rasional), seperti di bawah ini.
1.
Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban seseorang untuk
tetap teguh beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasulullah SAW.
sebagai utusan Allah SWT. merupakan keharusan dan sekaligus kebutuhan setiap
individu. Dengan demikian Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan
mereka. Perintah
patuh kepada Rasul berarti perintah mengikuti sunnah sebagai hujjah.
Dalam Q.S An-Nisa : 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
Artinya :
“Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS An-Nisa
: 59)[1]
Dalam Q.S
An-Nisa : 113
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ
اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
Artinya :
“Dan (juga karena)
Allah Telah menurunkan Kitab dan Hikmah kepadamu (Muhammad), dan Telah
mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah
sangat besar atasmu”.
(QS. An-Nisa: 113).
Beberapa
ayat diatas menunjukan bahwa kita diperintahkan untuk ta’at kepada Allah dan
mengikuti Rasulnya. Manusia tidak mungkin bisa mengikuti jejak Rasul tanpa
mengetahui sunnahnya.
Imam
al-Syafi’I berkata perihal ayat yang terakhir ini dengan mengatakan:
“Allah
swt menyebutkan al-Kitab yaitu al-Qur’an dan juga Sunnah (Hadis). Aku teelah
mendengar ahli ilmu al-Qur’an mengataka: Hikmah adalah Sunnah Rasulullah SAW. Karena al-Qur’an
disebutkan dan dibarengi dengan kata Hikmah. Allah swt. Menyebutkan anudrah-Nya
kepada makhluk-makhluk-Nya dengan mengajari mereka al-Kitab dan Hikmah, maka
tidak boleh –Wallahu a’lam- ditafsiri maksud Hikmah disini kecuali Sunnah
Rasulullah saw”.
2.
Dalil Al-Hadits
Hadits
yang dijadikan sebagai hujjah juga sangat banyak sekali, diantaranya adalah
sebagai berikut:
كُلُّ
أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ
أَبَى
Artinya : “Setiap umatku akan
masuk surga, kecuali mereka yang enggan dan tidak mau”. Para Sahabat kemudian
bertanya (keheranan); ‘Siapakah yang tidak mau memasukinya itu wahai
Rasulullah?’ Beliau menjawab: “orang yang mentaatiku akan masuk surga dan orang
yang mendurhakaiku (melangkar ketentuanku) berarti dia enggan dan tidak mau”. (HR. Bukhori).
“Aku tinggalkan pada kalain dua
perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya,
yaitu kitab Alllah dan sunnahku.” (HR. Al-Hakim dan Malik).
Saat Rasulullah SAW hendak
mengutus Mu’az bin jabal untuk menjadi penguasa di Yaman, terlebih dahulu dia
diajak dialog oleh Rasulullah SAW:
Rasul bertanya : “Bagaimana
kamu menetapkan hukum bila dihadapkan
kepadamu sesuatu yang memerlukan penetapan hukum?”
Mu’az menjawab : “Saya akan menetapkan dengan kitab
Allah SWT,”
lalu Rasul bertanya :“Seandainya
kamu tidak mendapatkanya dalam kitab Allah?”
Mu’az menjawab : “Dengan sunnah Rasulullah,”
Rasul bertanya lagi : “Seandainya
kamu tidak mendapatkanya dalam kitab Allah juga dalam sunnah Rasulullah?”
Mu’az menjawab : “Saya
akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri.”
Maka Rasulullah menepuk-nepuk
belakang Mu’az seraya mengatakan “Segala puji bagi Allah yang telah
menyelaraskan urusan seorang Rasull dengan sesuatu yang Rasull kehendaki.”. (HR. Abu Daud dan
Al-Tarmidzi).
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ
لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Artinya : “Aku telah meninggalkan
kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat untuk (selamanya) selama
kalian berpegangteguh kepada keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya”.(HR. Malik
ibn Anas).
Hadist-hadist diatas
menjelaskan kepada kita bahwa seseorang tidak akan tersesat selamanya apabila
hidupnya berpegang teguh atau berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Orang yang tidak berpegang teguh akan keduanya berarti tergolong kepada orang
yang sesat. Nabi tidak pernah memerintahkan kecuali dengan diperintah Allah,
dan siapa yang taat kepada Nabi berarti ia taat kepada zat yang memerintahkan
kepadanya untuk melaksanakan perintah itu.
B.
PERDEBATAN SEPUTAR KEHUJJAHAN HADITS
1.
Pengertian Kehujjahan Hadits
Yang dimaksud dengan kehujahan
Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang wajib dijadikan hujjah atau
dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya
dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam
kitabnya Ushul Al-Fiqh Al-Islami, orang yang pertama kali berpegang dengan
dalil-dalil ini diluar ‘ijma adalah Imam Asy-Syafi’I (w. 204 H) dalam kitabnya
Ar-Risalah dan Al-Umm.[2]
Kehujahan hadits sebagai dalil
syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy yang menuturkan tentang
kenabian Mohammad saw. Selain itu, keabsahan hadits sebagai dalil juga
ditunjukkan oleh nash-nash qath’iy yang menyatakan, bahwa beliau saw tidak
menyampaikan sesuatu (dalam konteks syariat) kecuali berdasarkan wahyu yang
telah diwahyukan. Semua peringatan beliau saw adalah wahyu yang diwahyukan.
Oleh karena itu, hadits adalah wahyu dari Allah swt, dari sisi maknanya saja,
tidak lafadznya. Hadits adalah dalil syariat tak ubahnya dengan al-Quran. Tidak
ada perbedaan antara al-Quran dan Hadits dari sisi wajibnya seorang Muslim
mengambilnya sebagai dalil syariat. Di dalam al-Qur'an sendiri kita dapati perintah-perintah,
akan tetapi tidak disertakan bagaimana pelaksanaannya, seperti misalnya
perintah shalat, puasa dan sebagainya. Dalam hal yang demikian ini tidak lain
kita harus melihat kepada hadits.
2.
Perdebatan Hadits dan Kehujjahannya
Di dalam al-Qur'an sendiri
kita dapati perintah-perintah, akan tetapi tidak disertakan bagaimana
pelaksanaannya, seperti misalnya perintah shalat, puasa dan sebagainya. Dalam
hal yang demikian ini tidak lain kita harus melihat kepada hadits.
Bukankah Allah telah berfirman
di dalam al-Qur'an:
"Dan Kami menurunkan kepada kamu adz-dzikr, agar engkau
menjelaskan kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan kepada
mereka." (an-Nahl:44)
Jika sekiranya, hadits itu
bukan merupakan hujah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah
tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan
melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.
Sabda Nabi SAW :
"Ingat! Bahwa saya diberi al-Quran dan yang seperti
al-Quran (Hadits)." (H.R. Abu Daud
Di dalam Al-Qur’n
ada beberapa kandungan yang bersifat ijmaly (global) dan umum, namun
adapula kandungan Al-Qur’an yang bersifat tafshily (terperinci). Hal-hal
yang bersifat global dan umum, sudah barang tentu memerlukan
penjelasan-penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai pedoman
hidup manusia. Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasulullah telah diberikan tugas dan
otoritas untuk menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an itu. Bahkan untuk hal-hal
yang bersifat teknis, penjelasan itu bukan hanya bersifat lisat, tetapi juga
langsung amalan praktis.
Para ulama telah
sepakat bahwa Hadits atau Al-Sunnah Al-Nabawiyah wajib ditaati sebagaimana
posisi Al-Qur’an di dalam pengambilan suatu hukum syariat (itsbat al-Hukum),
Al-Sunnah adalah sumber kedua dalam Syariat Islam[3],
dalil hal tersebut banyak sekali terdapat dalam Al-Qur’an, ijma’ dan Filsafat (pemikiran
para ulama’)[4].
Allah berfirman dalam Surat An-Nahl ayat 44:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an,agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.”
Ayat tersebut merupakan salah
satu penetapan tugas Rasul untuk menjelaskan Al-Qur’an itu. Bahkan dalam surat Al-Hasyr
ayat 7 dan surat An-Nisa’ ayat 80, Allah memberi penegasan atas
kewajiban umat Islam untuk mentaati dan mengikuti segala apa yang dikemukaan
oleh Rasulullah.
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan
apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumnya. (QS. Al-Hasyr : 7)
“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah
mentaati Allah dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa’-80).
Kebanyakan ulama
Hadits menyepakati bahwa dilihat dari segi sanad, Hadits itu terbagi menjadi 2
yaitu Hadits mutawatir dan Hadits ahad. Namun menurut versi yang
dikemukakan kalangan Hanafiah, Hadits itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: mutawatir,
masyhur, dan ahad[5].
Semua ulama telah
sepakat akan kehujjahan Hadits Mutawatir, namun mereka berselisih
pendapat dalam hal kehujjahan Hadits ahad, yaitu Hadits yang
diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau jamaah, namun tidak mencapai derajat mutawatir.[6]
Mayoritas umat
Islam telah sepakat untuk menerima Hadits sebagai landasan (dasar) hukum Islam,
namun terdapat pula golongan minoritas yang menolak Hadits sebagai sumber
syari’at setelah Al-Qur’an. Mereka berasumsi bahwa cukuplah Al-Qur’an saja
sebagai dasar tasyri’.[7]
Mereka memperkuat
argument mereka dengan firman Allah dalam QS. An-Nahl : 89 yang berbunyi :
“Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur’an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.”
Menurut mereka,
ayat tersebut sangatlah jelas menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu telah mencakup
seluruh persoalan agama, hukum-hukum dan telah memberikan penjelasan dengan
sangatlah gamblang dan jelas, hingga tidak memerlukan lagi yang lain, seperti
Hadits. Jika masih memerlukannya, niscaya di dalam Al-Qur’an masih terdapat
sesuatu yang dilalaikan.
Argument selanjutnya
yaitu andaikata Hadits itu sebagai hujjah, niscaya Rasullah Saw.memerintahkan
untuk menulisnya sehingga para Sahabat dan Tabi’in segera mengumpulkannya dalam
dewan Hadits, demi untuk memelihara agar tidak hilang dan dilupakan orang. Hal
demikian itu supaya diterima kaum muslimin secara qath’iy. Sebab dalil
yang dzonny tidak sah dijadikan landasan dalam berhujjah.[8]
Namun pendapat tersebut
dianggap kurang kuat dan kemudian dimentahkan oleh pendapat para Jumhur
Ulama’:
1.
Al-Qur’an memuat dasar-dasar
agama dan kaidah-kaidah yang masih global (umum) dan hanya sebagian nashnya
yang telah diterangkan dengan jelas, dan sebagian yang lain diterangkan oleh
Rasulullah Saw. karena memang beliau diutus oleh Allah untuk menjelaskan kepada
manusia tentang hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu,
penjelasan Rasulullah Saw. tentang hukum-hukum itu sama urgennya dan sama
halnya dengan penjelasan Al-Qur’an itu sendiri.
2.
Tidak adanya perintah menulis
Hadits dan melarang menulisnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Hadits Shahih, tidak
menunjukkan ketiadaan kehujjahan Hadits.
Bahkan kemaslahatan yang lebih sesuai di saat itu adalah
untuk menulis Al-Qur’an dan mendewankannya, untuk menjaga agar jangan sampai
hilang dan bercampur dengan sesuatu. Kehujjahan itu tidak terletak hanya pada
tertulisnya Hadits saja, tetapi juga terdapat pada ke-mutawatir-annya,
pengambilannya dari orang adil lagi terpercaya dan diberitakan oleh orang-orang
yang kuat hafalannya. Pemindahan dengan cara demikian bukan berarti kurang sah
daripada pemindahan dari tulisan.
C. HUBUNGAN dan FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN
Al-qur’an dan hadist sebagai
pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara yang satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Al-qur’an sebagai sumber
ajaran utama yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum. Oleh karena itu,
kehadiran hadist sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan)
keumuman isi Al-qur’an tersebut. Sesuai firman Allah SWT:
Artinya: “Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.”(QS. An-Nahl:44)
Allah SWT menurunkan Al-qur’an
agar dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul di perintahkan untuk menjelaskan
kandungan dan cara-cara melaksanakan ajaranya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
Secara
umum fungsi hadits terhadap al-Quran ada 4 yaitu Bayan at-Taqrir
,bayan at-tafsir, bayan at-Tasyri, bayan an-naskh. Tiga dari fungsi tersbut
disepakati oleh para ulama, namun bayan an-naskh menjadi perselisihan
pendapat.[9]
1. Bayan At-Taqrir.
Yang dimaksud dengan bayan ini
adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-qur’an.
Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan Al-qur’an. Contoh :
“Apabila kalian melihat
(ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka
berbukalah.” (HR. Muslim)
Hadist ini mentaqrirkan surah Al-baqarah: 185
Artinya:
“..................... Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu,...................” (QS. Al-Baqarah:185).
2. Bayan At-Tafsir.
Yang dimagsud bayan al-Tafsir
adalah hadist berfungsi untuk memberi penjelasan secara rinci terhadap ayat-ayat Al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal),
memberikan batasan(taqyid) ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan(takhsish) ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat umum.
a.
Menjelaskan secara rinci
terhadap ayat Al-qur’an:
“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat” (HR. Bukhari)
Hadist ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al-qur’an tidak
menjelaskan secara rinci tentang mendirikan shalat. Salah satu ayat yang
memerintahkan shalat adalah:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang
yang ruku'.”(Al-Baqarah:43)
b.
Memberi batasan terhadap ayat
Al-qur’an:
“Rasulullah SAW didatangi
seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari
pergelangan tangan.”
Hadist ini memberi batasan terhadap ayat:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al-Maidah:38)
c.
Mengkhususkan keumuman ayat
Al-qur’an:
“Kami kelompok para nabi tidak meninggalkan harta waris, apa yang kami
tinggalkan adalah sebagai sedekah.
Hadits ini mengkhususkan Ayat:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan
..................” (QS. An-Nisa’: 11)
3.
Bayan At-Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan at tasyri’ adalah
mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Quran.
Bayan ini disebut juga bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-Karim. Hadis Rasulullah SAW.
dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’il maupun taqriri) berusaha
menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang tidak
terdapat dalam Al-Quran. Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan memberikan
bimbingan dan menjelaskan persoalannya.
Banyak hadis Rasulullah Saw. yang termasuk dalam kelompok ini,
diantaranya adalah hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita
bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum merajam pezina wanita yang
masih perawan, dan hukum tentang hak waris seorang anak.
Suatu contoh hadis tentang zakat fitrah sebagai berikut:
Artinya: “
Rasulullah SAW. telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam pada bulan
ramadan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka
atau hamba, laki-laki atau perempuan. “ (QS An-Nisa :11)
Hadis yang termasuk bayan tasyri’ ini, wajib diamalkan sebagai
mana halnya dengan hadis-hadis lainnya. Ibnu Al-Qayyum berkata bahwa
hadis-hadis Rasulullah SAW yang berupa tambahan terhadap Al-Quran, harus
ditaati dan tidak boleh menolak atau mengingkarinya. Ini bukanlah sikap
(Rasulullah SAW) mendahului Al-Quran, melainkan semata-mata karena
perintah-Nya.
Ketiga bayan yang telah diuraikan di atas telah
disepakati oleh para ulama, namun untuk bayan yang ketiga masih sedikit
dipersoalkan. Sementara itu, untuk bayan lainnya, seperti bayan an-nasakh,
terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui dan menerima dan ada yang
menolaknya.
4.
Bayan An-Nash
Kata an-nasakh dari segi bahasa memiliki bermacam-macam
arti, yaitu al-itbat (membatalkan) atau al-ijalah (menghilangkan), atau taqyir
(mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini melalui pendekatan
bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam
mentaqrifkannya. Hal ini pun terjadi pada kalangan ulama mutaakhirin dengan ulama
mutaqadimin. Menurut ulama mutaqqadimin, yang disebut bayan an-nasakh ialah
adanya dalil syara’ (yang dapat menghapus ketentuan yang telah ada), karena
datangnya kemudian.
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa ketentuan yang
datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang datang terdahulu. Hadis
sebagai ketentuan yang datang kemudian dari Al-Quran, dalam hal ini, dapat
menghapus ketentuan dan isi kandungan Al-Quran. Demikianlah menurut ulama yang
menganggap adanya fungsi bayan an-nasakh. Imam Hanafi memebatasi fungsi bayan
ini terhadap hadis-hadis yang mutawatir dan masyur, sedangkan terhadap hadis
ahad, ia menolaknya.
Salah satu contoh yang bisa
diajukan oleh para ulama ialah hadis:
Yang
artinya: “ tidak ada wasiat bagi ahli waris “
Hadis ini menurut mereka me-naskah isi Al-Quran :
Artinya: “
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”
(QS
Al-Baqarah : 180)
BAB III
PENUTUP
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban
seseorang untuk tetap teguh beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Iman kepada
Rasul SAW sebagai utusan Allah SWT, merupakan satu keharusan dan sekaligus
kebutuhan setiap individu. Dengan demikian, Allah akan memperkokoh dan
memperbaiki keadaan mereka.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS
An-Nisa : 59).
Al-qur’an dan hadist sebagai
pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara yang satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Al-qur’an sebagai sumber
ajaran utama yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum. Oleh karena itu,
kehadiran hadist sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan)
keumuman isi Al-qur’an tersebut.
Allah SWT menurunkan Al-qur’an
agar dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul di perintahkan untuk menjelaskan
kandungan dan cara-cara melaksanakan ajaranya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
0 komentar:
Posting Komentar