Sabtu, 02 April 2016

II. ULUMUL HADIST (OTORITAS HADIST SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM)

BAB II
PEMBAHASAN
OTORITAS HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

A.    DALIL KEHUJJAHANNYA
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam baik berupa perintah maupun larangan, saran halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an. Hal ini karena hadits merupakan mubayyin (penjelas) terhadap Al-Qur’an, karena itu siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat.
Dengan demikian, antara hadits dengan Al-Qur’an memiliki kaitan sangat erat untuk memahami dan mengamalkannya, tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam, dapat dilihat dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadits) dan aqli (rasional), seperti di bawah ini.

1.      Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban seseorang untuk tetap teguh beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasulullah SAW. sebagai utusan Allah SWT. merupakan keharusan dan sekaligus kebutuhan setiap individu. Dengan demikian Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan mereka. Perintah patuh kepada Rasul berarti perintah mengikuti sunnah sebagai hujjah.



Dalam Q.S An-Nisa : 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS An-Nisa : 59)[1]
Dalam Q.S An-Nisa : 113
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
Artinya :
“Dan (juga karena) Allah Telah menurunkan Kitab dan Hikmah kepadamu (Muhammad), dan Telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”. (QS. An-Nisa: 113).

Beberapa ayat diatas menunjukan bahwa kita diperintahkan untuk ta’at kepada Allah dan mengikuti Rasulnya. Manusia tidak mungkin bisa mengikuti jejak Rasul tanpa mengetahui sunnahnya.
Imam al-Syafi’I berkata perihal ayat yang terakhir ini dengan mengatakan:
“Allah swt menyebutkan al-Kitab yaitu al-Qur’an dan juga Sunnah (Hadis). Aku teelah mendengar ahli ilmu al-Qur’an mengataka: Hikmah adalah Sunnah Rasulullah SAWKarena al-Qur’an disebutkan dan dibarengi dengan kata Hikmah. Allah swt. Menyebutkan anudrah-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya dengan mengajari mereka al-Kitab dan Hikmah, maka tidak boleh –Wallahu a’lam- ditafsiri maksud Hikmah disini kecuali Sunnah Rasulullah saw”.

2.      Dalil Al-Hadits
Hadits yang dijadikan sebagai hujjah juga sangat banyak sekali, diantaranya adalah sebagai berikut:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
Artinya “Setiap umatku akan masuk surga, kecuali mereka yang enggan dan tidak mau”. Para Sahabat kemudian bertanya (keheranan); ‘Siapakah yang tidak mau memasukinya itu wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: “orang yang mentaatiku akan masuk surga dan orang yang mendurhakaiku (melangkar ketentuanku) berarti dia enggan dan tidak mau”. (HR. Bukhori).

Aku tinggalkan pada kalain dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Alllah dan sunnahku.”       (HR. Al-Hakim dan Malik).

Saat Rasulullah SAW hendak mengutus Mu’az bin jabal untuk menjadi penguasa di Yaman, terlebih dahulu dia diajak dialog oleh Rasulullah SAW:
Rasul bertanya            : “Bagaimana kamu menetapkan hukum bila  dihadapkan kepadamu sesuatu yang memerlukan penetapan hukum?”
Mu’az menjawab         : “Saya akan menetapkan dengan kitab Allah SWT,”
lalu Rasul bertanya      :“Seandainya kamu tidak mendapatkanya dalam kitab Allah?”
Mu’az menjawab         : “Dengan sunnah Rasulullah,
Rasul bertanya lagi      : “Seandainya kamu tidak mendapatkanya dalam kitab Allah juga dalam sunnah Rasulullah? 
Mu’az menjawab         : “Saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri.

Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakang Mu’az seraya mengatakan “Segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan urusan seorang Rasull dengan sesuatu yang Rasull kehendaki.”. (HR. Abu Daud dan Al-Tarmidzi).

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

Artinya “Aku telah meninggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat untuk (selamanya) selama kalian berpegangteguh kepada keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya”.(HR. Malik ibn Anas).


Hadist-hadist diatas menjelaskan kepada kita bahwa seseorang tidak akan tersesat selamanya apabila hidupnya berpegang teguh atau berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Orang yang tidak berpegang teguh akan keduanya berarti tergolong kepada orang yang sesat. Nabi tidak pernah memerintahkan kecuali dengan diperintah Allah, dan siapa yang taat kepada Nabi berarti ia taat kepada zat yang memerintahkan kepadanya untuk melaksanakan perintah itu.


B.     PERDEBATAN SEPUTAR KEHUJJAHAN HADITS
1.      Pengertian Kehujjahan Hadits
Yang dimaksud dengan kehujahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Ushul Al-Fiqh Al-Islami, orang yang pertama kali berpegang dengan dalil-dalil ini diluar ‘ijma adalah Imam Asy-Syafi’I (w. 204 H) dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-Umm.[2]
Kehujahan hadits sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy yang menuturkan tentang kenabian Mohammad saw. Selain itu, keabsahan hadits sebagai dalil juga ditunjukkan oleh nash-nash qath’iy yang menyatakan, bahwa beliau saw tidak menyampaikan sesuatu (dalam konteks syariat) kecuali berdasarkan wahyu yang telah diwahyukan. Semua peringatan beliau saw adalah wahyu yang diwahyukan. Oleh karena itu, hadits adalah wahyu dari Allah swt, dari sisi maknanya saja, tidak lafadznya. Hadits adalah dalil syariat tak ubahnya dengan al-Quran. Tidak ada perbedaan antara al-Quran dan Hadits dari sisi wajibnya seorang Muslim mengambilnya sebagai dalil syariat. Di dalam al-Qur'an sendiri kita dapati perintah-perintah, akan tetapi tidak disertakan bagaimana pelaksanaannya, seperti misalnya perintah shalat, puasa dan sebagainya. Dalam hal yang demikian ini tidak lain kita harus melihat kepada hadits.

2.      Perdebatan Hadits dan Kehujjahannya
Di dalam al-Qur'an sendiri kita dapati perintah-perintah, akan tetapi tidak disertakan bagaimana pelaksanaannya, seperti misalnya perintah shalat, puasa dan sebagainya. Dalam hal yang demikian ini tidak lain kita harus melihat kepada hadits.
Bukankah Allah telah berfirman di dalam al-Qur'an:
"Dan Kami menurunkan kepada kamu adz-dzikr, agar engkau menjelaskan kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka." (an-Nahl:44)
Jika sekiranya, hadits itu bukan merupakan hujah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.
Sabda Nabi SAW : 
"Ingat! Bahwa saya diberi al-Quran dan yang seperti al-Quran (Hadits)." (H.R. Abu Daud
      Di dalam Al-Qur’n ada beberapa kandungan yang bersifat ijmaly (global) dan umum, namun adapula kandungan Al-Qur’an yang bersifat tafshily (terperinci). Hal-hal yang bersifat global dan umum, sudah barang tentu memerlukan penjelasan-penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai pedoman hidup manusia. Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasulullah telah diberikan tugas dan otoritas untuk menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an itu. Bahkan untuk hal-hal yang bersifat teknis, penjelasan itu bukan hanya bersifat lisat, tetapi juga langsung amalan praktis.
      Para ulama telah sepakat bahwa Hadits atau Al-Sunnah Al-Nabawiyah wajib ditaati sebagaimana posisi Al-Qur’an di dalam pengambilan suatu hukum syariat (itsbat al-Hukum), Al-Sunnah adalah sumber kedua dalam Syariat Islam[3], dalil hal tersebut banyak sekali terdapat dalam Al-Qur’an, ijma’ dan Filsafat (pemikiran para ulama’)[4].
Allah berfirman dalam Surat An-Nahl ayat 44:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an,agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Ayat tersebut merupakan salah satu penetapan tugas Rasul untuk menjelaskan Al-Qur’an itu. Bahkan dalam surat Al-Hasyr ayat 7 dan surat An-Nisa’ ayat 80, Allah memberi penegasan atas kewajiban umat Islam untuk mentaati dan mengikuti segala apa yang dikemukaan oleh Rasulullah.
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumnya. (QS. Al-Hasyr : 7)
“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa’-80).
      Kebanyakan ulama Hadits menyepakati bahwa dilihat dari segi sanad, Hadits itu terbagi menjadi 2 yaitu Hadits mutawatir dan Hadits ahad. Namun menurut versi yang dikemukakan kalangan Hanafiah, Hadits itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad[5].
      Semua ulama telah sepakat akan kehujjahan Hadits Mutawatir, namun mereka berselisih pendapat dalam hal kehujjahan Hadits ahad, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau jamaah, namun tidak mencapai derajat mutawatir.[6]
      Mayoritas umat Islam telah sepakat untuk menerima Hadits sebagai landasan (dasar) hukum Islam, namun terdapat pula golongan minoritas yang menolak Hadits sebagai sumber syari’at setelah Al-Qur’an. Mereka berasumsi bahwa cukuplah Al-Qur’an saja sebagai dasar tasyri’.[7]
      Mereka memperkuat argument mereka dengan firman Allah dalam QS. An-Nahl : 89 yang berbunyi :
“Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
      Menurut mereka, ayat tersebut sangatlah jelas menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu telah mencakup seluruh persoalan agama, hukum-hukum dan telah memberikan penjelasan dengan sangatlah gamblang dan jelas, hingga tidak memerlukan lagi yang lain, seperti Hadits. Jika masih memerlukannya, niscaya di dalam Al-Qur’an masih terdapat sesuatu yang dilalaikan.
      Argument selanjutnya yaitu andaikata Hadits itu sebagai hujjah, niscaya Rasullah Saw.memerintahkan untuk menulisnya sehingga para Sahabat dan Tabi’in segera mengumpulkannya dalam dewan Hadits, demi untuk memelihara agar tidak hilang dan dilupakan orang. Hal demikian itu supaya diterima kaum muslimin secara qath’iy. Sebab dalil yang dzonny tidak sah dijadikan landasan dalam berhujjah.[8]
      Namun pendapat tersebut dianggap kurang kuat dan kemudian dimentahkan oleh pendapat para Jumhur Ulama’:
1.      Al-Qur’an memuat dasar-dasar agama dan kaidah-kaidah yang masih global (umum) dan hanya sebagian nashnya yang telah diterangkan dengan jelas, dan sebagian yang lain diterangkan oleh Rasulullah Saw. karena memang beliau diutus oleh Allah untuk menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, penjelasan Rasulullah Saw. tentang hukum-hukum itu sama urgennya dan sama halnya dengan penjelasan Al-Qur’an itu sendiri.
2.      Tidak adanya perintah menulis Hadits dan melarang menulisnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Hadits Shahih, tidak menunjukkan ketiadaan kehujjahan Hadits.
Bahkan kemaslahatan yang lebih sesuai di saat itu adalah untuk menulis Al-Qur’an dan mendewankannya, untuk menjaga agar jangan sampai hilang dan bercampur dengan sesuatu. Kehujjahan itu tidak terletak hanya pada tertulisnya Hadits saja, tetapi juga terdapat pada ke-mutawatir-annya, pengambilannya dari orang adil lagi terpercaya dan diberitakan oleh orang-orang yang kuat hafalannya. Pemindahan dengan cara demikian bukan berarti kurang sah daripada pemindahan dari tulisan.

C.    HUBUNGAN dan FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN

Al-qur’an dan hadist sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara yang satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Al-qur’an sebagai sumber ajaran utama yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum. Oleh karena itu, kehadiran hadist sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-qur’an tersebut. Sesuai firman Allah SWT:
Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”(QS. An-Nahl:44)
Allah SWT menurunkan Al-qur’an agar dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul di perintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajaranya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
Secara umum fungsi hadits terhadap al-Quran ada 4 yaitu  Bayan at-Taqrir ,bayan at-tafsir, bayan at-Tasyri, bayan an-naskh. Tiga dari fungsi tersbut disepakati oleh para ulama, namun bayan an-naskh menjadi perselisihan  pendapat.[9]


1.      Bayan At-Taqrir.
Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan Al-qur’an. Contoh :
“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR. Muslim)
Hadist ini mentaqrirkan surah Al-baqarah: 185
Artinya: “..................... Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,...................” (QS. Al-Baqarah:185).
2.      Bayan At-Tafsir.
Yang dimagsud bayan al-Tafsir adalah hadist berfungsi untuk memberi penjelasan secara rinci terhadap ayat-ayat Al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan batasan(taqyid) ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan(takhsish) ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat umum.
a.       Menjelaskan secara rinci terhadap ayat Al-qur’an:
“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat” (HR. Bukhari)
Hadist ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al-qur’an tidak menjelaskan secara rinci tentang mendirikan shalat. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”(Al-Baqarah:43)
b.      Memberi batasan terhadap ayat Al-qur’an:
“Rasulullah SAW didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.”
Hadist ini memberi batasan terhadap ayat:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”        (QS. Al-Maidah:38)
c.       Mengkhususkan keumuman ayat Al-qur’an:
“Kami  kelompok para nabi tidak meninggalkan harta waris, apa yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah.
Hadits ini mengkhususkan Ayat:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan ..................” (QS. An-Nisa’: 11)

3.      Bayan At-Tasyri’

 Yang dimaksud dengan bayan at tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Quran. Bayan ini disebut juga bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-Karim. Hadis Rasulullah SAW. dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’il maupun taqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang tidak terdapat dalam Al-Quran. Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan memberikan bimbingan dan menjelaskan persoalannya.
            Banyak hadis Rasulullah Saw. yang termasuk dalam kelompok ini, diantaranya adalah hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris seorang anak.
Suatu contoh hadis tentang zakat fitrah sebagai berikut:
Artinya: “ Rasulullah SAW. telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam pada bulan ramadan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan. “ (QS An-Nisa :11)
            Hadis yang termasuk bayan tasyri’ ini, wajib diamalkan sebagai mana halnya dengan hadis-hadis lainnya. Ibnu Al-Qayyum berkata bahwa hadis-hadis Rasulullah SAW yang berupa tambahan terhadap Al-Quran, harus ditaati dan tidak boleh menolak atau mengingkarinya. Ini bukanlah sikap (Rasulullah SAW) mendahului Al-Quran, melainkan semata-mata karena perintah-Nya.
Ketiga bayan yang telah diuraikan di atas telah disepakati oleh para ulama, namun untuk bayan yang ketiga masih sedikit dipersoalkan. Sementara itu, untuk bayan lainnya, seperti bayan an-nasakh, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui dan menerima dan ada yang menolaknya.

4.      Bayan An-Nash
Kata an-nasakh dari segi bahasa memiliki bermacam-macam arti, yaitu al-itbat (membatalkan) atau al-ijalah (menghilangkan), atau taqyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini melalui pendekatan bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam mentaqrifkannya. Hal ini pun terjadi pada kalangan ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqadimin. Menurut ulama mutaqqadimin, yang disebut bayan an-nasakh ialah adanya dalil syara’ (yang dapat menghapus ketentuan yang telah ada), karena datangnya kemudian.
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian dari Al-Quran, dalam hal ini, dapat menghapus ketentuan dan isi kandungan Al-Quran. Demikianlah menurut ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-nasakh. Imam Hanafi memebatasi fungsi bayan ini terhadap hadis-hadis yang mutawatir dan masyur, sedangkan terhadap hadis ahad, ia menolaknya.
                        Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama ialah hadis:
Yang artinya: “ tidak ada wasiat bagi ahli waris “
Hadis ini menurut mereka me-naskah isi Al-Quran :
Artinya: “ Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
(QS Al-Baqarah : 180)





















BAB III
PENUTUP

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban seseorang untuk tetap teguh beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul SAW sebagai utusan Allah SWT, merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan setiap individu. Dengan demikian, Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan mereka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS An-Nisa : 59).
Al-qur’an dan hadist sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara yang satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Al-qur’an sebagai sumber ajaran utama yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum. Oleh karena itu, kehadiran hadist sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-qur’an tersebut.
Allah SWT menurunkan Al-qur’an agar dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul di perintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajaranya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.








0 komentar:

Posting Komentar