PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN THAHARAH
Thaharah menurut bahasa
artinya “bersih” Sedangkan menurut istilah syara’ thaharah adalah bersih
dari hadas dan najis. Selain itu thaharah dapat juga diartikan
mengerjakan pekerjaan yang membolehkan shalat, berupa wudhu, mandi, tayamum dan
menghilangkan najis.[1]
Thaharah juga dapat diartikan melaksanakan pekerjaan dimana tidak sah
melaksanakan shalat kecuali dengannya yaitu menghilangkan atau mensucikan diri
dari hadas dan najis dengan air.
Dalam Kitab Al-Majmul Syarhul Muhadzdzab, jilid 1/79 di jelaskan
:
Menurut bahasa thaharah berarti bersih dan
suci dari berbagai hadas. Adapun menurut istilah fiqih
adalah menghilangkan hadas atau membersihkan najis.
2.
DALIL-DALIL
THAHARAH
Dalil-dalil tentang thaharah, yaitu:
ان الله يحب التوابين ويحب المتطهرين . (البقرة : 122)
Artinya : sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersuci. (Al-Baqarah : 122).
عن ابي سعيد
الخدرى "الطهور شطْرُ الإيْمَان" (رواه المسلم)
Artinya: Kebersihan itu
sebagian dari iman.
3.
PEMBAGIAN THAHARAH
Thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian
yang besar yaitu: Taharah Hakiki dan Taharah Hukmi.
1.
Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki
maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakaian
dan tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah secara
hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis. Seseorang yang shalat yang
memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing tidak sah shalatnya.
Karena ia tidak terbebas dari ketidak sucian secara hakiki.
Thaharah secara hakiki
bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel baik pada badan, pakaian
atau tempat untuk melakukan ibaadah ritual, caranya bermacam-macam tergantuk
level kenajisannya.bila najis itu ringan cukup dengan memercikan air saja, maka
najis itu dianggap sudah lenyap, bila najis itu berat, harus dicuci dengan air
7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan
dengan cara, mencusikanya dengan air biasa hingga hilang warna najisnya, dan
juga hilang bau najisnya dan hilang rasa najisnya.
2. Thaharah Hukmi.
Seseorang yang tidak
batal wudhunya, boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran yang menimpanya.
Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu, bila ia ingin melakukan
ibadah tertentu seperti shalat, thawaf dan lain-lainnya.
Demikian pula dengan
orang yang keluar mani. Meski dia telah membersihkannya dengan bersih,
lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari
hadas besar hingga selesai dari mandi janabah.
Jadi secara thaharah secara hukmi adalah
kesucian secara ritual, dimana secara fisik memang tidak ada kotoran yang
menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ibadah ritual. Thaharah secara hukmi dilakukan dengan cara wudhu atau mandi janabah.[2]
4.
PENGERTIAN NAJIS
Menurut bahasa, najis artinya kotor. Menurut istilah,
najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor menurut syara’ (Hukum Islam).
Suatu benda atau barang yang terkena najis disebut mutanajjis. Benda mutanajjis
dapat disucikan kembali, misalnya pakaian yang kena air kencing dapat
dibersihkan dengan cara menyucinya. Berbeda dengan benda najis, seperti
bangkai, kotoran manusia dan hewan tidak dapat disucikan lagi, sebab ia tetap
najis.
Kotoran adalah segala sesuatu yang kotor atau tidak
bersih. Tidak semua yang kotor selalu dikatakan najis, misalnya daki di badan,
ketombe di kepala, noda air kopi atau sirop, dan sebagainya.
Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang
kita temukan pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan hadats terkhusus kita
temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu abstrak dan
menunjukkan keadaan seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan badan
dengan istri (jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam
keadaan hadats kecil. Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia
berarti terkena najis. Hadats kecil dihilangkan dengan berwudhu atau tayamum
dan hadats besar dengan mandi. Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang,
maka sudah membuat benda tersebut suci.
5.
PEMBAGIAN NAJIS DAN MACAM-MACAM NAJIS BERDASARKAN
PEMBAGIANNYA
Dalam ilmu fikih, najis dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Najis berat atau najis mugallazhah,
yaitu najis yang harus dicuci sampai tujuh kali dengan air mutlak dan salah
satunya menggunakan debu yang suci atau air yang dicampur dengan tanah.
Contohnya air liur anjing.
b. Najis sedang atau najis mutawassithah,
yaitu najis yang dicuci dengan cara menggunakan air mutlak sampai hilang bau
dan warnanya.
Najis mutawassithah dibagi menjadi:
• Najis ‘ainiyah, yaitu najis yang masih
terlihat zatnya, warnanya, rasanya, maupun baunya. Cara menyucikannya dengan
menghilangkan zat, warna, rasa dan baunya.
• Najis hukmiyah, yaitu najis yang kita
yakini adanya tetapi tidak nyata zatnya, baunya, rasanya, dan warnanya, seperti
air kencing yang sudah mengering.
c. Najis ringan atau najis mukhaffafah,
yaitu najis yang dapat disucikan dengan memercikkan atau menyiram air di tempat
yang terkena najis. Contohnya: air kencing bayi yang belum makan
apa-apa kecuali air susu ibu.
Najis yang dimaafkan atau najis ma‘fu,
yaitu najis yang dapat disucikan cukup dengan air, jika najisnya
kelihatan. Apabila tidak kelihatan tidak dicuci juga tidak apa-apa, karena
termasuk najis yang telah dimaafkan. Misalnya najis bangkai hewan yang tidak
mengalir darahnya, darah atau nanah yang sedikit, debu dan air di lorong-lorong
yang memercik sedikit yang sukar menghindarkannya.
6.
TATACARA PELAKSANAAN MENYUCIKAN
NAJIS
Dalam Kitab Alwajis fi Fiqih sunnah wal kitabil aziz fashal 17 di jelaskan
bahwa cara menyucikan Najis, diantaranya :
1.
Najis besar
(Mughallazoh), cara menyucikannya dengan membasuh sebanyak tujuh kali, salah
satunya menggunakan debu, setelah hilang ‘ayin (benda) yang najis.
2.
Najis
ringan (Mukhaffafah), cara menyucikannya dengan memercikkan air secara
menyeluruh dan menghilangkan ‘ayin yang najis.
3.
Najis sedang
(Mutawassithoh) terbagi dua bagian, yaitu:
1. 'Ainiyyah yaitu najis yang masih nampak warna, bau,
atau rasanya, maka cara menyucikan najis ini dengan menghilangkan sifat najis
yang masih ada.
2. Hukmiyyah, yaitu najis yang tidak nampak warna, bau
dan rasanya, maka cara menyucikan najis ini cukup dengan mengalirkan air pada
benda yang terkena najis tersebut.
7.
KLASIFIKASI
AIR DAN PENGGUNAANNYA DALAM
BERSUCI
1.
Air mulak
(air yang suci lagi mensucikan)
Air mutlak itu ada 7 jenis, yaitu:
1.
Air hujan
2.
Air laut
3.
Air sungai
4.
Air sumur
5.
Air yang
bersumber (dari mata air)
6.
Air es
7.
Air embun.
Ketahuilah
tidak sah berwudu dengan fardhu, mandi wajib, mandi sunnat, menghilangkan najis
dengan benda cair seperti cuka atau benda beku lainnya seperti tanah dalam
bertayamum .
Air mutlak mempunyai tiga sifat , yaitu :
1) Tha’mun
(Rasa)
2) Launun
(Warna)
3) Rihun (Bau)
Dan kalau dikatakan air itu berubah
maka yang dimaksudkan ialah berubah sifatnya, air mutlak itu terkadang berubah
rasanya, warnanya, atau baunya sebab dimasuki oleh sesuatu benda dan benda yang
masuk kedalam air itu kadang-kadang mukhlath dan kadang-kadang mujawir,
Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat sebagian
mereka mengatakan “ Al-mukhtalat itu ada yang tidak dapat diceraikan dari air”.
Dan sebagian lagi mengatakan “Al-Mukhtalat itu barang
yang tidak dapat dibedakan air menurut pandangan mata”.
Kalau air berubah dengan sesuatu
benda yang mujawir yang, cendana, minyak bunga-bungaan, kapur barus yang keras,
maka air itu masih dianggap suci yang dapat dipakai untuk ber bercuci,
sekalipun banyak perubahannya. Karena perubahan yang sesuatu mujawir itu, ia akan
menguap jua. Karena itu air yang seperti ini dinamakan air yang mutlak,
ban dingannya air yang berubah karena diasapkan dengan dupa atau berubaah
baunya karena berdekatan dengan bangkai. Maka air yang seperti ini masih
dianggap air yang suci dan dapt dipergunakan untuk bersuci, baik berubah
sifatnya.
2. Air suci
tidak mensucikan
air yang berubah sebab bercampur dengan benda-benda
suci lainnya (seperti teh, kopi, dan sirup. Misalnya juga dengan sabun, tepung, dan lain-lain yang
biasanya terpisah dengan air. Hukumnya tetap menyucikan selama kemutlakan nya
masih terpelihara, jika sudah tidak, hingga tidak dapat lagi dikatakan mutlak
maka hukumnya ialah suci pada dirinya sendiri, tidak menyucikan bagi lainnya.[4]
3. Air Mutlak
yang Makruh memakainya (air yang suci lagi mensucikan tetapi makruh memakainya)
Air yang makruh memakainya menurut hokum syara’ atau
juga dinamakan kahariyatut tanzih ada delapan macam , yaitu:
1.
Air yang
sangat panas
2.
Air yang
sangat dingin
3.
Air yang
berjemur
4.
Air di
negeri Tsamud selain dari air sumur naqah
5.
Air di
negeri kaum Luth
6.
Air telaga
Barhut
7.
Air didaerah
Babel dan
8.
Air ditelaga
Zarwan.
4. Air
musta’mal
Air
musta’mal adalah air yang bekas dipakai (dipakai berwudhu atau mencuci
najis) atau air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis,
kalau memang tidak berubah dan tidak bertambah timbangannya. Jadi airnya suci.
5. Air
yang terkena najis
Air najis adalah air yang kemasukan benda najis dan
air itu kurang dua kolah, atau air itu ada dua kolah tetapi berubah.[5] Maksudnya
air yang kemasukan benda najis didalamnya, andai kata air tersebut hanya
tertulari bau busuk dari najis yang dibuang dipinggirnya maka air yang demikian
ini tidak najis, sebab tidak bertemu langsung dengan najisnya. Dan yang
dimaksud dengan berubah andai kata air yang banyak tersebut tidak berubah
dengan adanya najis atau najisnya hanya sedikit dan hancur dalam air maka air
yang demikian ini juga tidak najis. Dan seluruh air itu boleh digunakan menurut
mazhab yang shahih.
8.
MANFAAT
THAHARAH
1.
Untuk membersihkan badan, pakaian,
dan tempat dari hadas dan najis ketika hendak melaksanakan suatu ibadah.
2.
Dengan bersih badan dan pakaiannya,
seseorang tampak cerah dan enak dilihat oleh orang lain karena Allah Swt, juga
mencintai kesucian dan kebersihan.
3.
Menunjukan seseorang memiliki iman
yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari-harinya karena kebersihan adalah
sebagian dari iman.
4.
Seseorang yang menjaga kebersihan,
baik badan, pakaian, ataupun tempat tidak mudah terjangkit penyakit.
5.
Seseorang yang selalu menjaga
kebersihan baik dirinya, rumahnya, maupun lingkungannya, maka ia menunjukan
cara hidup sehat dan disiplin.
9.
KESIMPULAN
Thaharah merupakan
salah satu ibadah yang disyariatkan oleh Alloh kepada hamba sebelum melakukan
ibadah yang lain. Thaharah hanya dilakukan dengan sesuatu yang suci dan dapat
menyucikan. Thaharah juga menunjukan bahwa sesungguhnya islam sangat menghargai
kesucian dan kebersihan sehingga diwajibkan kepada setiap muslim untuk
senantiasa menjaga kesucian dirinya, hartanya serta lingkungannya. Hal ini
dibuktikan dengan bab thaharah adalah bab pertama yang dibahas dalam setiap
kitab fiqih yang ada.
Dalam ilmu fikih, najis dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Najis berat atau najis mugallazhah,
yaitu najis yang harus dicuci sampai tujuh kali dengan air mutlak dan salah
satunya menggunakan debu yang suci atau air yang dicampur dengan tanah.
Contohnya air liur anjing.
b. Najis sedang atau najis mutawassithah,
yaitu najis yang dicuci dengan cara menggunakan air mutlak sampai hilang bau
dan warnanya.
c. Najis ringan atau najis mukhaffafah,
yaitu najis yang dapat disucikan dengan memercikkan atau menyiram air di tempat
yang terkena najis. Contohnya: air kencing bayi yang belum makan
apa-apa kecuali air susu ibu.
0 komentar:
Posting Komentar