BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Tahammul wa al Ada’
Secara
etimologi kata tahammul berasal dari kata: تَحَمَّلَ يَتَحَمَّلُ تَحَمُّلاً yang
berarti menanggung, membawa atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Secara
terminologi tahammul adalah mengambil hadits dari seorang guru dengan
cara-cara tertentu.
Sedangkan
pengertian ada’, menurut etimologi adalah diambil dari
kata اَدَى- يُؤْدِى- اَدَاءٌ yang
berarti menyampaikan sesuatu kepada orang yang dikirim kepadanya. Adapun
pengertiannya secara terminologi adalah sebuah proses meriwayatkan hadis
dari seorang guru kepada muridnya, atau bisa diartikan dengan meriwayatkan
dan menyampaikan hadis kepada murid.
Ulama’ Hadits
sejak dahulu telah menjelaskan bagaimana hadis itu didapat seorang rawi dari
gurunya, syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh orang yang mendengar
hadis dan menyampaikannya kembali, serta shighat/lafadz yang digunakan dalam
menyampaikan hadis.
Hal ini tidak
lain untuk memastikan tersambungnya hadits sampai kepada Nabi Muhammad,
sehingga akan hilang keraguan dalam diri dan yakin bahwa suatu hadis
benar-benar datang dari Nabi. Hal itu menunjukkan bahwa begitu telitinya Ulama
Hadis dalam menyeleksi kebenaran datangnya suatu hadis.
B. Kelayakan
Seorang Perawi
Yang dimaksud
dengan kelayakan seorang rawi adalah kepatutan seseorang untuk mendengar dan
menerima hadis serta kelayakannya dalam menyampaikan kembali hadis itu.
Kelayakan seorang perawi terbagi kedalam dua bentuk, yaitu kelayakan tahammul dan
kelayakan ada’.
Dalam tahammul
hadis, tidak disyaratkan seorang rawi itu harus baligh dan muslim, menurut
pendapat yang shahih.Sebagaimana dijelaskan as-Suyuthi (w.911 H) dalam Tadrib
ar-Rawi.
Berbeda dalam ada’,
maka disyaratkan sudah baligh dan muslim. Maksudnya riwayat seseorang itu
diterima meskipun saat mendengar hadis itu, seorang tersebut masih dalam
keadaan kafir maupun masih belum baligh. Belum baligh disini disyaratkan sudah
tamyiz, sebagaimana jika ia sudah bisa membedakan kambing dan keledai.
Meskipun ada
pula yang mengatakan bahwa riwayat hadis seseorang tidaklah diterima jika waktu
memperoleh hadisnya saat belum baligh. Tetapi pendapat ini tidaklah benar.
Karena para Ulama telah menerima riwayat sahabat padahal saat menerima hadis,
mereka belum baligh. Sebagaimana riwayat Hasan, Husain, Abdullah bin Zubair,
Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Said bin Yazid dan lainnya. Al-Kathib
al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya al-Kifayah telah menjelaskan secara luas,
tentang diterima riwayat seseorang yang mendengar hadis saat belum baligh.
Hasan bin Ali bin Abi Thalib telah meriwayatkan hadits dari Nabi, padahal
beliau lahir tahun 2 Hijriyah. Maslamah bin Mukhallad meriwayatkan hadits dari
Nabi. Saat Nabi wafat, maslamah baru berusia 14 tahun.
Apakah ada
batas umur tertentu dalam menerima hadis ? Sebagian Ulama’ mensyaratkan batas
minimal usia 5 tahun. Ada pula yang tidak membatasinya. Batasnya adalah jika
sudah tamyiz, sudah paham jika diajak bicara, bisa menjawab jika ditanya, dan
bagus pendengarannya. Selain kelayakan tahammul, sebagaimana
disebutkan diatas yaitu kelayakan ada’. Kelayakan ada’
seseorang agar diterima riwayatnya yaitu sebagaimana syarat hadits maqbul
(shahih/hasan); yaitu muslim yang baligh, ‘adil dan dhabith.
Untuk keterangan lebih detail, bisa merujuk kepada tema syarat-syarat rawi.
C. Metode-metode Tahammul dan Shighat
Ada’ Hadits
Pada umumnya
Ulama membagi metode penerimaan riwayat hadis menjadi delapan macam. Dari
kedelapan metode ini, dalam periode sahabat hanya yang pertama saja yang
digunakan secara umum. Para murid berada di sisi guru, melayaninya dan belajar
darinya. Tak lama kemudian, metode yang paling umum digunakan adalah metode
satu dan dua.
Bentuk: Seorang
guru membacakan hadis, sedangkan murid mendengarkannya. Baik guru itu membaca
dari kitab ataupun dari hafalannya, baik murid hanya mendengarkan atau
mencatatnya juga.
Tingkatan:
Metode tahammul ini merupakan tingakat pertama dalam urutan tahammul hadits.
Inilah pendapat Jumhur Ulama.
Shighat Ada’: Sedangkan
shighat yang digunakan dalam menyampaikan sebuah hadits yang didapatkan dengan
metode ini adalah:
Sebelum adanya
pengkhususan shighat dari masing-masing metode tahammul, lafadz yang digunakan
adalah:
حدثني، أخبرني،
أنبأني، سمعت فلانا يقول، قال لي فلان، ذكر لي فلان
Setelah terjadi
pengkhususan istilah shighat tahammul, maka biasanya:
1.
Sama’: biasanya menggunakan (سمعت ) dan ( حدثني)
2.
Al-Qira’ah: biasanya menggunakan (أخبرني)
3.
Ijazah: biasanya menggunakan (أنبأني)
4.
Sama’ al-Mudzakarah: Sama’
al-Mudzakarah berbeda dengan sama’ at-tahdits. Jika sama’ at-tahdits maka
antara guru dan murid sudah mempersiapkan diri sebelumnya. Sedangkan dalam
sama’ al-mudzakarah tidak ada persiapan sebelumnya. Biasanya menggunakan (قال لي ) atau ( ذكر لي).
Biasanya untuk
meringkas tulisan, para Ulama’ hanya menuliskan (ثنا)
untuk (حدثنا), dan (أنا)
untuk (أخبرنا).
2.
Al-Qira’ah ‘ala
as-Syeikh
Bentuk: Seorang
murid membaca hadits dan guru mendengarkannya. Baik seorang murid itu
membacanya sendiri atau orang lain yang membaca dan dia mendengarkan, baik
membacanya dari tulisan ataupun dari hafalan. Begitu juga guru itu mengikuti
bacaan murid dari hafalannya atau dia memegang sebuah kitab atau orang lain
yang tsiqah.
Hukum Riwayat:
Meriwayatkan hadits dengan metode ini adalah shahih dan bisa diterima.
Tingkatan:
Ulama berbeda pendapat tentang tingkatan metode ini dalam tiga pendapat:
1.
Sama dengan as-Sama’ (metode pertama). Ini
pendapat Malik, al-Bukhari, Yahya bin Said al-Qahthan, Ibnu Uyainah, az-Zuhri,
kebanyakan Ulama Hijaz dan Kufah.
2.
Di bawah as-Sama’, Ini adalah pendapat
Jumhur Khurasan, as-Syafi’i, Muslim bin Hajjaj, Yahya bin Yahya at-Tamimi. Ini adalah
pendapat yang shahih.
3.
Lebih tinggi daripada as-Sama’. Ini
adalah pendapat Abu Hanifah, dan salah satu pendapat Malik. Imam Malik
memberikan alasan bahwa, jika saja seorang guru salah atau lupa dalam
menyampaikan suatu hadits, maka murid tidak bisa membetulkannya. Ada kalanya
memang murid tersebut belum mengetahui haditsnya, atau karena keagungan
gurunya, jadi murid enggan untuk mengoreksi. Berbeda jika murid membacakan
hadits di depan gurunya, maka gurunya akan bisa tahu jika murid lupa atau salah
dalam membaca hadis.
Shighat Ada’:
a.
Yang lebih hati-hati: (قرأت على فلان) atau (قرئ عليه
وأنا أسمع فأقرَّ به)
b.
Boleh saja dengan shighat: (حدثنا قراءة عليه)
c.
Adapun yang banyak dipakai Muhadditsin adalah:
(أخبرنا)
Ulama’ tidak
membolehkan mengganti shighat (أخبرنا)
dengan (حدثنا) atau sebaliknya
dalam kitab-kitab yang sudah ditulis.
Nampaknya,
metode ini merupakan praktek yang paling umum sejak awal abad kedua. Dalam
praktek ini, salinan-salinan diberikan oleh guru sendiri, karena banyak dari
mereka memiliki juru tulis (katib atau warraq) sendiri, atau
merupakan milik murid yang menyalinnya lebih dahulu dari kitab asli.
3.
Al-Ijazah
Arti kata
Ijazah dalam terminologi hadis adalah memberikan izin, baik dalam tulisan
maupun hanya lafadz saja kepada seseorang untuk menyampaikan hadis atau kitab
berdasarkan otoritas Ulama yang memberikan izin.
Ijazah ini bisa
dengan musyafahah antara guru dan murid, atau pemberian izin dari guru
dalam bentuk tulisan, baik murid ada atau tidak ada di depan guru.
Bentuk: Seorang
guru berkata kepada muridnya,
(أَجَزْتُ لك أن تروي عني صحيح البخاري),
saya memberi
ijin untukmu meriwayatkan dariku kitab Shahih Bukhari.
Macam-Macam
Ijazah dan Hukumnya:
Ada beberapa
macam Ijazah, tapi Ijazah yang diterima riwayatnya dan dipakai oleh Kebanyakan
Ulama adalah jika Ijazah itu dari seorang guru kepada murid yang tertentu atas
sesuatu yang tertentu pula. Misalnya: Saya mengijazahkan kepadamu kitab
Shahih Bukhari.
Adapun Ijazah
yang lain, misalnya Ijazah kepada orang yang tak tertentu, atau atas sesuatu
yang tidak tertentu pula, misalnya: Seorang guru berkata, Aku mengijazahkan hafalanku,
aku mengijazahkan kepada semua orang yang hidup di zamanku, maka para Ulama
tidak mengambil riwayat dari hal tersebut. Meskipun ada pula yang membolehkan
mengambil riwayat dari Ijazah seperti itu, tetapi pendapat ini adalah pendapat
yang lemah.
Shighat Ada’:
a.
Yang lebih baik adalah menggunakan lafadz: (أجاز لي فلان)
b.
Boleh juga menggunakan lafadz: (حدثنا إجازة) dan (أخبرنا
إجازة)
c.
Para Muhaddits banyak yang memakai lafadz: (أنبأنا)
4.
Al-Munawalah
Al-Munawalah
disini maksudnya adalah menyerahkan kepada seseorang bahan tertulis untuk
diriwayatkan.
Bentuk: Al-Munawalah
terbagi menjadi dua:
1.
Al-Munawalah disertai dengan Ijazah.
Inilah bentuk
Ijazah tertinggi, dimana seorang guru memberikan kitab kepada muridnya disertai
izin untuk meriwayatkannya. Sebagaimana guru berkata kepada muridnya, Kitab ini
saya meriwayatkannya dari guru saya, maka sekarang riawayatkanlah dari saya.
Setelah itu, kitab menjadi milik murid atau guru hanya meminjamkan saja
kitabnya untuk disalin.
2.
Al-Munawalah tidak disertai dengan ijazah.
Bentuknya
adalah seorang guru memberikan kitab kepada muridnya. Hukum meriwayatkan hadits
dengan al-Munawalah yang tidak disertai ijazah ini adalah tidak diterima,
menurut pendapat yang shahih. Sedangkan al-munawalah yang disertai ijazah
adalah diterima, dia berada dibawah as-Sama’ dan al-Qira’ah ala
as-Syeikh.
Shighat ada’:
Lebih baik
menggunakan lafadz: (ناولني), jika
munawalah disertai dengan ijazah, maka dengan lafadz (ناولني
وأجاز لي). Boleh juga dengan lafadz: (حدثنا
مناولة), (أخبرنا مناولة وإجازة).
5.
Al-Kitabah
Yang dimaksud
dengan al-kitabah di sini adalah aktivitas seorang guru menuliskan
hadits, baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk kemudian diberikan
kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada
ditempat lain.
Macam
Al-kitabah ini oleh para Ulama hadis dibagi menjadi dua, sebagaimana dalam
Al-Munawalah:
1.
Disertai dengan pemberian Ijazah. Sebagaimana
perkataan seorang guru kepada muridnya: Saya ijazahkan kepadamu hadits yang
telah aku tuliskan kepadamu.
2.
Tidak disertai pemberian ijazah. Sebagaimana
seorang guru menuliskan hadis kepada seseorang tetapi tidak disertai ijazah
untuk meriwayatkannya.
Mengenai hukum
meriwayatkan hadits metode ini, jika disertai ijazah, maka diterima
sebagaiamana seperti al-munawalah yang disertai ijazah, karena pada prinsipnya
hampir sama antara al-kitabah dan al-munawalah. Sedangkan jika tidak disertai
ijazah, maka sebagian Ulama’ tidak memperbolehkan meriwayatkannya, seperti
al-Qadhi Abu al-Mawardi as-Syafi’i (w. 450 H) dalam kitabnya al-Hawi dan
al-Amidi (w. 631 H).
Sedangkan
sebagian Ulama ada membolehkan meriwayatkan hadis dari al-kitabah, meskipun
tidak disertai ijazah. Karena ada tanda-tanda yang bisa diketahui dari
al-kitabah bahwa orang yang memberikan tulisannya kepada orang lain, artinya
boleh untuk diriwayatkan. Ini pendapat yang shahih, sebagaimana diungkap oleh
Dr. Mahmud at-Thahhan. Sebelumnya, Al-Qadhi Iyadh al-Yahshafi (w. 544 H), dalam
kitabnya al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’,
juga menyatakan kebolehan riwayat dengan metode ini.
Karena
sejatinya tulisan kepada seseorang adalah berbicaranya seseorang kepada orang
lain, tetapi dengan media yang
berbeda.
Shighat Ada’:
1.
Menggunakan lafadz: (كتب
إلي فلان)
2.
Boleh juga menggunakan lafadz: (حدثني فلان كتابة) atau (أخبرني
كتابة).
Cara
selanjutnya adalah al-i’lam, yaitu tindakan seorang guru yang
memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadis ini adalah riwayat
darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk
menyampaikannya atau kebolehan meriwayatkannya. Atau jika seorang murid berkata
kepada gurunya “Ini adalah hadis riwayatmu, bolehkah saya
menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Hukum Riwayat:
1.
Boleh: Sebagaimana dikatakan oleh banyak Ahli
Hadis dan Fiqih. Seperti Ibnu Juraij, Ibnu as-Shabbagh as-Syafi’I, Abu al-Abbas
al-Walid bin Bakr al-Maliky.
2.
Tidak boleh: Ini pendapat yang dianggap shahih
oleh Dr. Mahmud at-Thahhahan, karena menurut beliau seorang guru mengabarkan
kepada muridnya atas sebuah riwayat tanpa disertai ijazah, itu menandakan
adanya suatu cela dalam hadis.
As-Suyuthi (w.
911 H) dalam kitabnya; Tadrib ar-Rawi yang mensyarah kitab an-Nawawi (w.
676 H) yang berjudul at-Taqrib wa at-Taisir li Makrifati Sunani al-Basyir
an-Nadzir mengungkapakan bahwa an-Nawawi (w. 676 H) menshahihkan pendapat
kedua, yaitu tidak menerima riwayat metode ini.
Adapun Al-Qadhi
Iyadh al-Yahshafi (w. 544 H) telah menjelaskan dengan panjang terkait perbedaan
Ulama atas hukum riwayat metode ini dalam kitabnya. Beliau lebih cenderung
membolehkan riwayat metode ini, karena jika guru mengabarkan kepada murid,
bahwa suatu hadits itu termasuk hadis yang didengar oleh dirinya sendiri, maka
itu sama halnya guru itu memberikan hadis kepada muridnya. Meskipun tidak
disertai ijazah.
Bahkan jika
seorang guru mengatakan kepada muridnya, “ini adalah riawayat yang saya dengar,
kalian jangan meriwayatkannya dari saya” maka larangan ini tidak jadi pengahalang
bagi muridnya untuk meriwayatkan hadis itu, jika memang hadits itu shahih.
Karena jika hadits itu shahih, maka larangan meriwayatkan oleh guru itu tidak
karena haditsnya, tetapi karena hal lain. As-Suyuthi (w. 911 H) menyandarkan
pendapat ini kepada pendapat Ahli Dzahir.
Shigat ada’ yang dalam
metode ini adalah: lafadz (أعلمني شيخي بكذا).
7.
Al-Washiyah
Al-washiyyah adalah
penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut;
yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya.
Adapun hukum
riwayat hadis dengan metode ini ada dua pendapat:
1.
Boleh: Ini adalah pendapat Ulama terdahulu.
Tetapi pendapat ini tidak benar. Sebagaimana diungkapan, an-Nawawi (w. 676 H)
yang dinukil oleh as-Suyuthi (w. 911 H), al-Qadhi Iyadh (w. 544 H), dan
oleh Ulama saat ini, Dr. Mahmud at-Thahhan.
2.
Tidak boleh: Ini adalah pendapat yang shahih
oleh para Ulama’ ahli Hadis.
Shighat Ada’:
Lafadz yang digunakan dalam riwayat wasiat ini
adalah: (أوصى إلي فلان بكذا) atau boleh juga (حدثني فلان وصية)
8.
Al-Wijadah
Sedangkan cara
terakhir adalah al-wijadah. Al-wijadah adalah seorang rawi menemukan
hadis yang ditulis oleh seseorang yang tidak satu periode, atau satu
periode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak
mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya.
Wijadah juga
tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak.
Sedangkan pendapat yang shahih adalah tidak membolehkan riwayat dengan wijadah,
karena ada inqitha’ sanad. Bahkan jika seorang rawi ketahuan hanya
mendapati tulisan hadis seseorang, lalu dengan sengaja meriwayatkannya dengan
shighat yang mengindikasikan bertemu atau mendengar secara langsung, misal “haddatsana”
atau “akhbarana”, maka bisa saja rawi itu dianggap mudallis, dan
hadisnya tidak akan diterima.
Sedangkan shighat
yang dipakai dalam dalam wijadah adalah: lafadz (وجدت
بخط فلان) atau (قرأت بخط فلان)
lalu disebutkan sanad dan matan.
Inilah kedelapan metode Tahammul hadits beserta shighat yang digunakan dalam ada’-nya.
Lebih mudahnya, bisa dilihat dalam
tabel berikut:
Tahammul
|
Shighat
Ada’
|
Keterangan
|
|
1
|
Sama’
|
حدثني، حدثنا، سمعت، قال لي، ذكر لي
|
Biasanya
Ulama’ meringkas (حدثنا) dengan (ثنا) atau (نا)
|
2
|
‘Ardh
|
أخبرنا، حدثنا قراءة عليه، قرأت على فلان، قرئ عليه وأنا أسمع
فأقرَّ به
|
Biasanya
Ulama’ meringkas (أخبرنا) dengan (أنا) kadang (أرنا)
|
3
|
Ijazah
|
أنبأنا، أجاز لي فلان، أخبرنا أو حدثنا إجازة
|
|
4
|
Al-Munawalah
|
ناولني، ناولني وأجاز لي، أخبرنا مناولة وإجازة، حدثنا مناولة
|
|
5
|
Al-Kitabah
|
كتب إلي فلان، أخبرني كتابة، حدثني كتابة
|
|
6
|
Al-I’lam
|
أعلمني شيخي بكذا
|
|
7
|
Wasiat
|
أوصى إلي فلان بكذا، حدثني فلان وصية
|
|
8
|
Wijadah
|
وجدت بخط فلان، قرأت بخط فلان
|
Draft Tahammul beserta shighat
ada’nya
Tentu
penggunaan lafadz ada’ ini bukanlah hal yang disepakati oleh seluruh Ulama
hadis terdahulu. Karena masing-masing Ulama dari beberapa daerah di Arab
memiliki ciri khas masing-masing. Tetapi draft diatas hanya mencoba mempermudah
saja atas identifikasi metode tahammul.
Kitab
al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) yang berjudul, al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul
ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, sepertinya kitab yang sangat luas
berbicara tentang hal ini. Disana disebutkan perbedaan para Ulama’ terkait
lafadz yang digunakan masing-masing Ulama’ dalam shighat ada’.
Untuk
lebih luasnya, pembaca bisa merujuk langsung kepada kitab tersebut.
Mungkin
agar lebih jelasnya, penulis akan paparkan contoh-contoh hadits beserta shighat
ada’nya, yang penulis nukil dari kitab ar-Ramahurmuzi.[29]
· Dengan lafadz (سمعت)
حدثنا همام بن محمد ثنا محمد بن عقبة السدوسي ثنا سفيان
بن عيينة عن عمرو بن دينار قال سمعت سعيد بن جبير يقول سمعت ابن
عباس يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يخطب يقول: أنكم ملاقو
الله حفاة عراة مشاة غرلا
· Dengan lafadz (حدثنا) atau (أن فلانا حدثه)
حدثنا عبدان وجعفر بن محمد الخاركي قالا ثنا هدبة بن
خالد ثنا حماد بن الجعد ثنا قتادة أن محمد بن سيرينحدثه أن
أبا هريرة حدثه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قضى في المصراة إذا
اشتراها الرجل فحلبها فهو بالخيار ان شاء أمسك وان شاء ردها ومعها صاعا من تمر
· Dengan lafadz (أنبأني فلان)
حدثني أبي وابن زهير قالا ثنا يحيى بن حكيم المقوم ثنا أبو
داود ثنا شعبة قال أنبأني حماد بن أبي سليمان وعبد العزيز بن
صهيب وعتاب مولى هرمز وسليمان التيمي انهم سمعوا أنس بن مالك يحدث أن رسول الله
صلى الله عليه و سلم قال من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
· Dengan lafadz (قال لي فلان) dan (أخبرني فلان)
حدثنا أحمد بن يحيى الحلواني ثنا عبيد بن حناد ثنا عبد
الرحمن بن أبي الرجال عن اسحاق بن يحيى بن طلحة بن عبيد الله قال قال
لي ثابت الأعرج أخبرني أنس بن مالك عن النبي صلى الله عليه و سلم
قال: لا تزال هذه الأمة بخير ما إذا قالت صدقت وإذا حكمت عدلت وإذا استرحمت رحمت
· Dengan lafadz (وجدت في كتاب فلان)
حدثنا ابن زهير ثنا محمد بن عثمان بن مخلد قال وجدت
في كتاب أبي بخطه عن سلام أبي المنذر عن مطرعن عطاء عن جابر
قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أفطر الحاجم والمحجوم
Itulah
beberapa contoh hadis dengan shighat ada’ masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar